BAB I
PENDAHULUAN
Menurut ketentuan umum yang terdapat dalam Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang menurut UU RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan demi tercapainya.
Menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.. Pendapatan dari resep obat menjadi prioritas apotek karena lebih tinggi nilainya daripada sediaan lainnya. Derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan merupakan salah satu program pengembangan kesehatan sesuai Kepmenkes RI No.1202/Menkes/SK/VIII/2003. Tujuan dari program tersebut untuk meningkatkan pemerataan dan mutu kesehatan yang berhasilguna dan berdayaguna serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, pada pasal 2 dinyatakan bahwa tugas dan fungsi apotek adalah:
1. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan,
2. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat,
3. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
Pekerjaan kefarmasian juga dilakukan di apotek meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 2002). Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, peran Apoteker yang menyandang gelar sarjana farmasi, telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.
Aspek pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Anonim 2004). Aspek pengelolaan apotek menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25. Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik, pada pasal 3, Pengelolaan Apotek, setelah mendapat izin Menteri Kesehatan, apotek dapat diusahakan oleh (1) Lembaga atau Instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat dan di Daerah, (2) Perusahaan milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah, (3) Apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan. Salah satu tugas dalam pekerjaan kefarmasian bagi apoteker dalam pengelolaan apotek adalah pelayanan resep di apotek, yang telah mendapatkan surat ijin apotek (SIA) dan diberikan oleh Menteri kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek (PSA) (Anonim, 2002).
Menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Dalam aspek pelayanan kefarmasian pengelolaan resep menjadi prioritas di samping Obat Wajib Apotek (OWA), obat keras, narkotika, psikotropika, obat bebas, obat bebas terbatas, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan kesehatan lainnya. Pendapatan dari resep juga menjadi prioritas demi keberlangsungan hidup apotek, karena jumlah laba yang ingin diperoleh apotek dari resep lebih tinggi daripada sediaan farmasi lain, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya.. Pendapatan dari resep bisa diperoleh berdasarkan harga jual maksimal (dalam HET = harga eceran tertinggi) yang diperbolehkan sesuai ketentuan Depkes RI, walaupun demikian HET ini tidak akan secara langsung diikuti oleh apotek, karena jika harga yang ditentukan terlalu tinggi, maka pasien akan mengalihkan dan pergi ke apotek lain.
Hal ini berakibat pada persaingan antar apotek terutama dalam hal harga, dikarenakan pertumbuhan apotek menjadi semakin pesat dan dampak yang muncul bisa jadi berimbas pada pelayanan kefarmasian. Di satu sisi pengelolaan apotek sangat tergantung pendapatan dari resep karena biaya operasional apotek juga tinggi, di sisi lain tuntutan pemerintah dalam mendukung program Indonesia Sehat 2010, di mana indikator apoteker yang memberikan pelayanan kefarmasian di suatu wilayah di banding jumlah penduduk di wilayah tersebut sebesar 10 : 10.000 (Anonim, 2003) membuat.
BAB II
PENETAPAN HARGA OBAT
Menyediakan obat dengan harga rasional, dan sehat dalam penyajian dan kemasannya, bukan perkara gampang. Bukan rahasia lagi, karena persaingan yang ketat di antara industri farmasi untuk memasyarakatkan obatnya, ternyata telah menambah biaya bagi konsumen. Sehingga pasien harus memperoleh obat sangat beragam yang kadang tidak dibutuhkan, apalagi harus ditebus dengan harga tinggi. Obat memang tidak pernah murah. Promosi yang berlebihan menyebabkan obat cenderung mahal (Soetedja, 2000).
Dirjen POM Drs Sampurno mengakui, selama belasan tahun pemerintah memperhatikan dengan serius akses dari promosi gencar industri farmasi ke kalangan dokter. Sebagian dokter, karena pengaruh promosi industri farmasi, diketahui membuat peresepan yang tidak perlu buat pasien. Akibatnya, pola preskripsi menjadi tinggi biayanya, dan penggunaan obat menjadi tidak rasional. Selain menimbulkan biaya kesehatan lebih tinggi, juga menimbulkan dampak kesehatan buat pasien (Soetedja, 2000).
Sebagai konsumen, posisi pasien memang sungguh tidak independent. Pasalnya, muara dari berubahnya pola preskripsi dokter-dokter tertentu tersebut seluruhnya harus ditanggung pasien. Karena menganggap kerugian kesehatan dan finansial yang dipikul pasien sudah sangat serius, tak heran, dalam waktu dekat pemerintah akan mengeluarkan suatu keputusan yang akan mengatur mengenai promosi obat untuk kalangan dokter dan industri farmasi. (Soetedja, 2000).
Obat merupakan suatu komponen penting dan strategis dalam sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Oleh karena itu perlu diciptakan suatu aturan di bidang pemakaian obat sehingga dapat diupayakan untuk memenuhi persyaratan efektif, aman, rasional dan murah. Pemilihan jenis obat yang tepat dan efektif sangat mempengaruhi proses penyembuhan penderita walaupun banyak faktor yang berpengaruh pada proses penyembuhan suatu penyakit (Stefanus, L, 2000).
Perkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pemasaran obat banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat pemerintah, dan masyarakat terhadap obat. Pada 10-20 tahun yang lalu industri-industri farmasi banyak menekankan pada penemuan obat-obat baru, dan peta kefarmasian pada saat itu ditandai dengan cepatnya suatu molekul obat baru ditemukan. Dewasa ini, kecepatan penemuan obat baru mulai menurun, sebagian disebabkan karena sudah cukup banyak tersedia obat yang efektif untuk berbagai penyakit. Masa paten yang sudah kadaluwarsa dari berbagai macam obat seringkali menyebabkan munculnya bermacam-macam produk obat yang mengandung zat aktif yang ekivalen. Sementara itu masyarakat mengharapkan obat bermutu dengan harga yang terjangkau, dan banyak industri obat mempromosikan penulisan resep obat sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan kompetisi harga obat di antara industri obat. (www-portalkalbe-files-cdk-files-11_BioavailabilitasObat_pdf-11_BioavailabilitasObat.htm)
Merespons kondisi pasar yang semakin kompetitif dan dampak- dampaknya,perusahaan atau badan usaha harus selalu mengubah strategi dalam pemasaran. Tidak terkecuali upaya yang dilakukan oleh apotek. Sehubungan dengan itu maka perlu dianalisis faktor apa saja yang mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan membeli obat di apotek.(Muslichah et al, 2005) Komunikasi pemasaran merupakan usaha untuk menyampaikan pesan kepada publik terutama konsumen sasaran mengenai keberadaan produk di pasar. Konsep yang umum sering digunakan untuk menyampaikan pesan adalah apa yang disebut sebagai bauran promosi (promotional mix). Disebut bauran promosi karena biasanya pemasar sering menggunakan berbagai jenis promosi secara simultan dan terintegrasi dalam suatu rencana promosi produk (Muslichah et al, 2005).
Bauran promosi terdiri dari iklan (advertising), penjualan tatap muka (personal selling), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat dan publisitas (publicity and public relation), dan pemasaran langsung (direct marketing) (Kotler,2000:101).
Pengambilan keputusan merupakan suatu kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang yang ditawarkan. Menurut Kotler (1997:162) ada lima tahap proses keputusan pembelian. Pertama, analisis atau pengenalan kebutuhan, yaitu proses membeli dimulai dengan pengenalan kebutuhan, di mana pembeli mengenali adanya masalah atau kebutuhan. Pembeli merasakan perbedaan antara keadaan nyata dan keadaan yang diinginkan. Kedua, pencarian informasi, yaitu apabila dorongan konsumen kuat dan produk yang dapat mernuaskan ada dalam jangkauan konsumen kemungkinan akan membelinya. Bila tidak, konsumen dapat menyimpan kebutuhan dalam ingatan atau melakukan pencarian informasi yang berhubungan dengan kebutuhan tersebut. Konsumen dapat memperoleh informasi dari beberapa sumber, yaitu: (Kotler (1997:163) yang terdiri dari sumber pribadi, sumber komersial, sumber publik, dan sumber pengalaman.
Ketiga, evaluasi alternatif yakni pemasaran harus mengetahui mengenai evaluasi alternatif, bagaimana konsumen mengolah informasi sampai pada pemilihan merek. Konsep dasar tertentu membantu menjelaskan proses evaluasi konsumen. Pertama, kita menganggap bahwa setiap konsumen melihat produk sebagai kumpulan atribut produk. Untuk kamera, atribut produk mungkin mencakup mutu gambar,kemudahan menggunakan, ukuran kamera, harga, dan atribut lain. Kedua, konsumen akan memberikan tingkat arti penting berbeda terhadap atribut berbeda menurut kebutuhan dan keinginan unik masing-masing. Ketiga, konsumen mungkin akan mengembangkan satu himpunan keyakinan merek mengenai di mana posisi setiap merek pada setiap atribut. Himpunan keyakinan mengenai merek tertentu dikenal sebagai citra merek. Keempat, harapan kepuasan produk total konsumen akan bervariasi pada tingkat atribut yang berbeda. Kelima, konsumen sampai pada sikap terhadap merek berbeda lewat beberapa prosedur evaluasi. Ada konsumen yang menggunakan lebih dari satu prosedur evaluasi, tergantung pada konsumen dan keputusan pembelian. (Muslichah et al, 2005)
Keempat, keputusan membeli, artinya dalam tahap evaluasi, konsumen membuat peringkat merek dan membentuk niat untuk membeli. Pada umumnya, keputusan membeli konsumen adalah membeli merek yang paling disukai, tetapi dua faktor dapat muncul antara niat untuk membeli dan keputusan untuk membeli. Faktor pertama adalah sikap orang lain dan yang kedua adalah faktor situasi yang tidak diharapkan. (Muslichah et al, 2005).
Kelima, perilaku pasca pembelian, artinya tahap dari proses keputusan pembeli. Konsumen mengambil tindakan lebih lanjut setelah membeli berdasarkan pada rasa puas atau tidak puas. Pembeli merasa puas atau tidak puas dengan suatu pembelian terletak pada hubungan antara harapan konsumen dan prestasi yang diterima dari produk. Apabila produk tidak memenuhi harapan, konsumen merasa tidak puas. Apabila memenuhi harapan, konsumen merasa puas. Apabila melebihi harapan, konsumen akan merasa amat puas. (Muslichah et al, 2005) Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala jiwa seperti : keinginan,minat, kehendak, pengetahuan,emosi, berpikir, sikap, motivasi,situasi atau keadaan di luar diri seseorang. Respon tersebut dapat bersifat pasif dan dapat pula bersifat aktif (Soekidjo, N,1984; Green, L.W.,dkk, 1991).
Perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu (Green, L.W., dkk,1991) : 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, persepsi, keyakinan, nilai, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. Yang termasuk faktor predisposisi adalah pengetahuan terhadap keberadaan apotek dan sikap atas anjuran untuk menebus resep di apotek 2. Faktor pendukung (enabling factors), terwujud dalam bentuk sarana fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas) yang meliputi ketersediaan dana dan ketersediaan waktu konsumen. 3. Faktor- faktor penguat (reinforcing factors), terwujud dalam bentuk pengaruh lingkungan sosial yang menentukan apakah tindakan tersebut memperoleh dukungan atau tidak. Dalam hal ini sebagai faktor penguat adalah adanya pihak penanggung biaya. (Harianto et al,2004)
Definisi faktor lingkungan adalah hal, keadaan, peristiwa yang ikut menyebabkan atau mempengaruhi terjadinya sesuatu (Alwi, 2002:239). Lingkungan diartikan sebagai semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Lingkungan dapat berupa tiga hal. Pertama, lingkungan alam, keadaan (kondisi, kekuatan) sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisasi.
Kedua, lingkungan kebudayaan, keadaan sistem nilai budaya, adat istiadat dan cara hidup masyarakat yang mengelilingi kehidupan seseorang. Ketiga, lingkungan sosial, kekuatan masyarakat serta berbagai sistem norma di sekitar individu atau kelompok manusia yang mempengaruhi tingkah laku mereka dan interaksi antara mereka (Alwi,2002: 526).
Individu berasal dari kata latin, individuum yang berarti ‘yang tidak terbagi’. Kata individu merupakan sebutan untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan (Ahmadi, 2003: 95).
Adapun, arti leksikal individu adalah orang seorang, pribadi orang (terpisah dari yang lain) secara fisiologi ia bersifat bebas sehingga tidak mempunyai hubungan organik dengan sesamanya (Alwi, 2002:329).
Berdasarkan konsep tersebut faktor individu dapat diartikan sebagai hal atau keadaan yang melekat pada pribadi orang secara fisiologi. Jadi, faktor individu yang berhubungan dengan perilaku konsumen adalah kekuatan yang melekat pada konsumen yang mempengaruhi keputusan membeli. Kekuatan yang melekat pada konsumen secara individu tersebut sebagai faktor-faktor yang ada dalam diri individu atau konsumen. Kekuatan individu terdiri dari pengalaman belajar dan memori (learning and memory), kepribadian dan konsep diri (personality and self concept), motivasi dan keterlibatan (motivation and involvement), sikap (attitude), dan gaya hidup (life style) (Amirullah,2002:36).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian proses pengambilan keputusan konsumen tidak bisa terjadi dengan sendirinya, sebaliknya masalah kebudayaan, demografis, sosial, individu (karakteristik pribadi), dan psikologis secara kuat mempengaruhi proses keputusan tersebut (http://manbisnis.tripod.corn. 2005).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa variabel lingkungan, individu, dan bauran pemasaran pada pelanggan jamu PT Deltomed Wonogiri menghasilkan pengaruh ketiga variabel tersebut sebesar 23,8%. Dalam hal ini variabel yang paling dominan mempengaruhi adalah faktor individu (Dalima, 2004:41).
Kemudian Rastini (2001) yang meneliti tentang factor-faktor yang mempengaruhi keputusan menginap di hotel berbintang tiga yang mengemukakan ada sepuluh faktor yang mempengaruhi yaitu lingkungan, personal traits, kondisi fisik, sosial dan referensi, produk, promosi, budaya, harga, individu, dan proses. Dari uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yakni apakah variabel faktor lingkungan, faktor individu, dan faktor komunikasi pemasaran mempengaruhi konsumen memutuskan membeli obat farmasi. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel faktor lingkungan, faktor individu, dan faktor komunikasi pemasaran terhadap keputusan membeli obat farmasi. (Muslichah et al, 2005). Berdasarkan data 6 bulan terakhir bahwa jumlah konsumen yang berkunjung ke apotik mengalami penurunan dari jumlah resep 1576 pada Oktober 2007, menjadi 1185 resep pada bulan Maret 2008. Hal ini berdampak pada pendapatan apotik dan kelangsungan apotik. Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perilaku konsumen.
Contoh 1: Resep dokter tablet Obat Generik – Tunggal
R/ Acyclovir 400 mg LXX
S 3 dd II
Pro: Nn. Kartika
1. Golongan: Obat keras, bukan obat paten
2. Khasiat: Antivirus (herpes)
3. Tersedia dalam tablet 200 mg dan 400 mg
4. Harga jual 200 mg Rp. 800,- 400 mg Rp. 1.600,-
5. Harga resep
LXX: 70 x 1600 = Rp. 112.000
Toeslag = Rp. 500
Total = Rp. 112.300
6. Bila dibeli ½ nya harus diberi salinan resep
R/ Acyclovir 400 mg LXX
S 3 dd II
det 35
kalau setengah did atau det 35
7. Resep dikerjakan setelah ada persetujuan harga.
Ambil Acyclovir 400 mg sebanyak 70 tablet, masukkan dalam kantong, berikan etiket (no. resep, tgl, nama, pemakaian sehari 3 x 2 tablet dan labe “HARUS DENGAN RESEP DOKTER”)
8. Obat diberikan pada pasien, diberikan informasi secukupnya, & sebutkan cara penggunaannya. Tulis alamat & no tilp/ hp.
9. Resep disalin ke buku resep (nama pasien, umur, alamat, obat, jumlah obat & harga obat)
10. Dari buku resep, obat yang keluar distok pada kartu stok (jumlah yang keluar berapa, sisanya berapa) atau dimasukkan ke computer, masuk system inventory.
Contoh 2: Tablet Obat Paten – Tunggal
R/ Xanax Tab 0,5 mg No. XXX
S 0 – 0 – 1
1. Golongan: Obat keras, paten
2. Khasiat: Psikotropik
3. Tersedia dalam:
Xanax 0,25 mg = Rp. 1.550/ tab
Xanax 0,5 mg = Rp. 2.200/ tab
Xanax 1 mg = Rp. 3.618/ tab
4. Harga resep: 30 x 2.200 = 66.000
Toeslag = 500
Total = 66.300
5. Setelah ada persetujuan harga, resep dikerjakan, ambil tablet xanax, masukkan dalam kantong, beri etiket lengkap, pemakaian malam 1 tablet disertai label Harus dengan Resep Dokter.
6. Obat diserahkan, beri informasi (obat apa dan cara penggunaan), catat alamat & transaksi pembayaran.
7. Resep ditulis pada buku resep (lengkap) karena xanax obat psikotropik harian yang mencatat khusus masuk dan keluarnya obat–obat psikotropik. Setelah 1 bulan pengeluaran & pemasukan obat psikotropik dilaporkan ke Balai POM.
8. Resep dibundel per hari, setelah 1 bulan bundelan resep disimpan dan diberi tanda.
Catatan: 0 – 0 – 1 artinya pagi tidak makan obat
Siang tidak makan obat
Malam makan obat 1 tablet
Contoh 3: Resep Dokter
Kapsul – Obat Paten > 1 macam
R/ Amoxan 500 No. X
S 3 dd caps
R/ Mefinal 500 No. X
S 3 dd kapl
Tn. Donny
1. Golongan obat: Keras, paten
Amoxan: Amoxicillin (Sanbe Farma) golongan antbiotik
Mefinal: Asam mefenamat (Sanbe Farma)
Dicek dari buku ISO/ MIMS
2. Amoxan kaps 250 mg Rp. 1.800/ kap
500 mg Rp. 3.200/ kap
Mefinal kapl 250 mg Rp. 680/ kapl
500 mg Rp. 1.120/ kapl
Total: (10 x 3.200) + (10 x 1.120) + (2 x 500) = Rp. 44.200
| | |
Amoxan Mefinal Toeslag
3. Setelah ada persetujuan harga, obat disiapkan, ambil amoxan 500, 10 kaps dan mefinal 500, 10 kapl kemudian masukkan dalam kantong. Beri etiket lengkap.
4. Tahap selanjutnya kurang lebih sama dengan tahap-tahap sebelumnya di Resep contoh 1 dan 2.
Contoh 4: Resep dokter
Resep Obat – Racikan
R/ Haloperidol 5 mg
Perphenazin 8 mg
Promactil 100 mg
THF (trihexiphenidil) 2 mg
mf da in cap dtd XVIII
S 3 dd I
1. Campuran obat-obat antipsikis.
2. Campuran dimasukkan dalam kapsul sebanyak 18 kapsul, pemakaian 3 x kapsul
Ada mortir untuk cairan, ada mortir untuk serbuk.
3. Perhitungan harga resep:
Tablet haloperidol 5 mg Rp. 200/tab
Tablet Perphenazin 4 mg Rp. 60/tab
Tablet Promactil 100 mg Rp. 297/tab
Tablet THF 2 mg Rp. 75/tab
Digerus satu-satu, dicampur, dibagi 2, dimasukkan ke kapsul.
Tablet Haloperidol = 18 x Rp. 200 = Rp. 3.600
Perphenazin = 18 x 8/4 x Rp. 60 = Rp. 2.160
Promactil = 18 x Rp. 297 = Rp. 5.346
THF = 18 x Rp. 75 = Rp. 1.350
Kapsul = 18 x Rp. 50 = Rp. 900
Toelag = Rp. 1.500
Total Rp. 14.856
Untuk Promactil, 8/4 maksudnya yang tersedia 4 mg tetapi di resep 8 mg.
Contoh 5: Resep Dokter
Sirup Antibiotik Tunggal
R/ Erythrocyn Syr fl I
S 3 dd cth 1
Fani (2 ½ thn)
1. Sediaan sirup kering antibiotic erythromisin, berkhasiat untuk infeksi saluran pernafasan
2. Signa: 3 dd 1 sendok teh
3. Perhitungan harga:
Erythrocyn Syr = Rp. 49.600
Toelag = Rp. 1.000
Total = Rp. 50.600
4. Setelah persetujuan harga, resep disiapkan, sirup kering dikocok dulu, setelah itu, ditambahkan akuades sesuai petunjuk, tutup dan beri etiket sesuai signa dan beri label “Harus dengan Resep Dokter” dan “Kocok Dahulu”.
5. Penyerahan resep, berikan informasi.
Contoh 6: Resep dokter
Sirup – Racikan
R/ Potio nigra
Sir Thymi aa 100
Codein 0,200
Ephedrin 0,100
Dextamin 18 tab
mf sirup
S 3 dd C1/ pc
Catatan:
aa = masing-masing 10 ml
Codein = penekan batuk, biasanya Codein HCl
Ephedrin = biasanya untuk susah nafas
Dextamin = antihistamin, antialergi
C1 = 1 sendok makan
pc = setelah makan
1. Khasiat: Obat batuk
2. Signa: dibuat sirup 200 cc, signa sehari 3 x 1 sendok makan, diminum setelah makan.
3. Perhitungan harga:
Potio nigra 1 botol 100 cc (OBH combi) Rp. 42.000
Codein (1 tab = 10 mg
Contoh 7: Resep Dokter
Obat Luar – Obat Keras
R/ As. Salisilat 1%
Albiotin 2%
Sulfur 3%
Hidrokortison 5 gram
Sue
Catatan:
Toeslagnya mahal karena buatnya susah.
Contoh 8: Resep Dokter Obat Mata
R/ Cendoxitrol fl I
S 3 dd gtt II ods
1. Khasiat: Anti radang
2. Signa: Sehari 3 x 2 tetes mata kiri, kanan
Catatan: ods = okula dextra sinistra
Daftar Pustaka
Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1992, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, Penerbit PT. Saptamitra Widyadinamika, Jakarta
Anonim, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perizinan
Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 1999, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan
Indikator Propinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Depkes RI, Jakarta. Anonim, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1202/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penetapan Indikator Propinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Depkes RI, Jakarta
Anonim, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta apotik dan faktor – faktor yang mempengaruhi.
0 comments:
Posting Komentar