BAB I
PENDAHULUAN
Definisi kesehatan menurut ketentuan umum dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemerintah dan atau masyarakat perlu menyelenggarakan upaya kesehatan melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Derajat kesehatan yang optimal ini dapat terwujud melalui berbagai upaya kesehatan, salah satunya dengan membangun sarana kesehatan.
Apotek sebagai tempat pengabdian profesi apoteker merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang turut berperan serta dalam mensukseskan pembangunan kesehatan. Apotek menyediakan dan menyalurkan obat serta perbekalan farmasi lainnya kepada masyarakat, disamping itu apotek berperan sebagai lembaga informasi obat yang menyediakan layanan komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang farmasi kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Pengelolaan apotek adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan oleh seeorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) da;am rangka tugas dan fungsinya yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (Permenkes No. 26/Men.Kes/Per/I/1981). Pengelolaan apotek ini menjadi tugas dan tangungjawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi. APA tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang teknis farmasi saja, namun juga di bidang manajemen agar ia dapat menjalankan usaha apoteknya dengan baik, karena di dalam usaha apotek terdapat unsur-unsur dagang (bisnis), sosial dan profesi.
Sebagai pengelola apotek, apoteker bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup apoteknya. Ia harus dapat mengelola dan mengembangkan apotek sehingga memperoleh laba dari usaha apoteknya tersebut, tanpa melanggar etika profesi dan fungsi sosial. APA dituntut untuk dapat membuat perencanaan, mengenali permasalaha apotek serta dapat memilih jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi seorang calon apoteker untuk dapat mengetahui dan melihat secara langsung bagaimana pelaksanaan praktek profesi apoteker di apotek, mengetahui permasalahan-permasalahan yang biasa terjadi di apotek, melihat bagaimana cara penyelesaiannya, dan mengetahui hal-hal lainnya yang belum tentu dapat diperoleh di bangku kuliah. Pengetahuan itu dapat diperoleh dengan cara melakukan latihan kerja profesi di lapangan sehingga diharapkan para calon apoteker dapat membiasakan dirinya dengan pekerjaan profesinya dan menjadikan sebagai modal yang berguna bagi dirinya di kemudian hari jika mengelola apotek.
Program Profesi Apoteker Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan PT. Kimia Farma Unit Perapotekan Daerah Jawa Barat memberikan kesempatan kepada calon apoteker untuk mengadakan Latihan Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma.
Laporan ini berisi hasil Latihan Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma 14 yang beralamat di Jl. Cihampelas No. 7 Bandung. Latihan Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan pada bula Juli 2004 dengan tugas khusus “Pembuatan Poster mengenai Diabetes Mellitus”, sebagai salah satu upaya komunikasi, informasi dan edukasi bagi masyarakat.
|
TINJAUAN UMUM MENGENAI APOTEK
2.1 Definisi Apotek
Usaha apotek merupakan suatu kombinasi dari usaha profesi, usaha sosial, dan usaha dagang yang masing-masing tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika. Sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Apoteker Pengelola Apotek adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA), yaitu surat yang diberikan oleh Menteri – yang bertanggungjawab di bidang kesehatan – kepada apoteker atau apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
|
2.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 Tahun 1980 menyatakan bahwa tugas dan fungsi apotek adalah:
1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat.
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
2.3 Persyaratan Apotek
Peraturan mengenai persyaratan apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 26 Tahun 1981 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.278 Tahun 1981 yang kemudian dicabut dengan dikeluarkannya Permenkes No.922 Tahun 1993 Bab IV pasal 6.
Persyaratan apotek ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Sumber Daya Kesehatan di Kota Bandung, yaitu :
1. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang telah memiliki persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan, tenaga Asisten Apoteker, dan termasuk sediaan farmasi serta perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
2. Sarana apotek dapat didirikan pada lahan yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
3. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
4. Dalam hal apoteker menggunakan sarana pihak lain diperkenankan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana.
Adapun persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam mendirikan apotek yang meliputi persyaratan bangunan, perlengkapan apotek dan tenaga kesehatan.
2.3.1 Lokasi
Lokasi apotek sangat mempengaruhi maju mundurnya usaha apotek tersebut. Akan lebih baik lokasi apotek berada di daerah yang ramai, aman, dekat dengan rumah sakit/klinik, ada beberapa dokter yang praktek, daerah yang mudah dijangkau, mudah dicapai oleh masyarakat banyak dengan kendaraan serta daerah yang cukup padat penduduknya dan cukup mampu. (Hartono, 1998)
Lokasi apotek adalah tempat apotek didirikan. Lokasi apotek ditentukan sesuai dengan permohonan pada saat pengajuan izin apotek. Jarak antar apotek tidak dibatasi lagi sejak dikeluarkannya Permenkes No. 244 tahun 1990 (Depkes RI, 1990)
2.3.2 Bangunan
Bangunan adalah gedung atau bagian gedung yang dipergunakan untuk mengelola apotek. Berdasarkan Permenkes No 244 tahun 1990 luas bangunan apotek tidak ditentukan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan untuk pelayanan farmasi. Dalam Permenkes No.922 tahun 1993, bangunan apotek sekurang-kurangnya memiliki ruangan khusus untuk peracikan dan penyerahan resep, ruang administrasi dan kamar kerja apotek serta WC. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
Sedangkan kelengkapan bangunan apotek harus memenuhi syarat :
a. Luas bangunan apotek disesuaikan dengan kebutuhan, dan yang paling terpenting adalah pelayanan kefarmasian dapat dilakukan dengan baik.
b. Bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiri dari ruang tunggu, ruang racik dan penyerahan, ruang administrasi dan apoteker, serta kamar mandi (WC).
c. Dinding harus kuat dan tahan air, permukaan sebelah dalam rata, tidak mudah mengelupas dan mudah dibersihkan.
d. Langit-langit terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak dan permukaan sebelah dalam berwarna terang.
e. Atap tidak boleh bocor, terbuat dari genteng, dan bahan lain yang memadai.
f. Lantai tidak boleh lembab, terbuat dari ubin, semen, atau bahan lain yang memadai serta mudah dibersihkan.
g. Bangunan apotek harus memiliki ventilasi dan sistem sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya.
h. Apotek harus mempunyai sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
i. Ruang apotek harus mempunyai penerangan yang cukup, sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek dengan baik.
j. Alat pemadam kebakaran yang berfungsi dengan baik sekurang-kurangnya dua buah.
k. Apotek harus memasang papan nama pada bagian muka apotek yang terbuat dari seng, papan atau bahan lain yang memadai. Dalam papan nama tercantum nama apotek, nama APA, nomor Surat Izin Apotek, alamat dan nomor telepon apotek. (Depkes RI, 1993)
2.3.3 Perlengkapan
Perlengkapan apotek adalah semua peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan apotek. Menurut Permenkes No. 92 tahun 1993, perlengkapan apotek meliputi :
1. Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan meliputi :
Timbangan milligram dan gram dengan anak timbangan yang sudah ditera masing-masing minimal satu set. Dan perlengkapan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan.
2. Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi, meliputi :
a. Lemari dan rak penyimpan obat .
b. Lemari pendingin.
c. Lemari khusus menyimpan narkotik dan psikotropika.
3. Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat dengan jenis, ukuran dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, serta dilengkapi dengan etiket yang sesuai.
4. Alat administrasi yang terdiri dari blangko pemesanan obat, blangko kartu stok obat, blangko salinan resep, faktur dan nota penjualan, buku pencatatan narkotik, buku pesanan narkotik, buku pembelian dan penerimaan obat, format laporan narkotik, buku penjualan, buku pembukuan keuangan, dan alat tulis.
5. Buku standar yang diwajibkan yaitu Farmakope Indonesia edisi terbaru satu buah dan kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek.
2.3.4 Perbekalan Kesehatan di Bidang Farmasi
Menurut Permenkes No. 244 tahun 1990 dan Permenkes No. 922 tahun 1993, perbekalan farmasi yang harus disediakan oleh apotek sekurang-kurangnya terdiri dari obat generik sesuai dengan Daftar Obat Esensial Indonesia (DOEN) untuk Rumah Sakit Kelas C dan D. (Depkes, 1990; Depkes, 1993)
2.3.5 Tenaga Kesehatan
Berdasarkan Permenkes RI No. 922 tahun 1993, tenaga kesehatan di apotek terdiri dari Apoteker Pengelola Apotek (APA), apoteker pendamping dan Asisten Apoteker (AA). Sebuah apotek harus memiliki seorang APA yang dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang Asisten Apoteker. Jika APA berstatus sebagai pegawai negeri atau ABRI, maka harus ada apoteker pendamping atau asisten apoteker kepala.
Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993 disebutkan bahwa apabila APA berhalangan tugas, maka APA dapat menunjuk apoteker pendamping, dan bila APA dan apoteker pendamping tidak berada di tempat selama lebih dari tiga bulan terus menerus, maka dapat digantikan oleh apoteker pengganti. Penggantian tersebut harus dilaporkan ke Dinkes Kota dengan tembusan ke Balai POM setempat.
1. Apoteker Pengelola Apotek
Syarat-syarat yang harus dimiliki Apoteker Pengelola Apotek menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Sumber Daya Kesehatan di Kota Bandung Pasal 108 ayat 1.
2. Apoteker Pendamping
Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993, apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di samping Apoteker Pengelola Apotek, dan menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek (APA).
3. Apoteker Pengganti
Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993, apoteker pengganti adalah apoteker yang bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus menerus.
4. Asisten Apoteker Kepala
Menurut Permenkes No. 26 tahun 1981, yang dimaksud asisten apoteker kepala adalah Asisten Apoteker yang telah memperoleh surat izin dari Dirjen POM sebagai asisten apoteker kepala. Menurut Kepmenkes No. 279 tahun 1981, seorang asisten apoteker kepala harus memenuhi persyaratan sebagai seorang Asisten Apoteker. Asisten Apoteker yang akan menjadi asisten apoteker kepala harus memiliki surat izin asisten apoteker kepala yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan melalui Dirjen POM.
5. Asisten Apoteker
Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993 Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker.
2.4 Surat Izin Apotek
Dengan adanya otonomi daerah, Izin apotek diberikan oleh Walikota/ Bupati melalui Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten. Menurut Permenkes RI no.922/Menkes/Per/X/1993, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, sebelum melaksanakan kegiatannya, Apoteker Pengelola Apotek (APA) wajib memiliki Surat Izin Apotek (SIA). Izin apotek ini berlaku untuk seterusnya selama apotek bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melaksanakan tugas, dan melaksanakan daftar ulang setiap satu tahun sekali.
2.4.1 Tata Cara Pemberian Izin Apotek
Persyaratan izin apotek yang diajukan apoteker kepada Walikota melalui Dinkes Kota, yaitu :
1. Mengisi formulir permohonan dan ditandatangani di atas materai,
2. Salinan/fotokopi Surat Penugasan (SP) Apoteker Pengelola Apotek,
3. Salinan/fotokopi Kartu Tanda Penduduk APA dan PSA,
4. Salinan/fotokopi denah bangunan dan denah lokasi,
5. Surat yang menyatakan status bangunan dalam bentuk akte hak milik/sewa/kontrak,
6. Daftar Asisten Apoteker dengan nama, alamat, tanggal lulus dan SIK,
7. Asli dan salinan/fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan apotek,
8. Surat pernyataan dari APA bahwa tidak bekerja tetap pada perusahan farmasi lain dan tidak menjadi APA di apotek lain,
9. Asli dan fotokopi Surat Izin Atasan (bagi pemohon Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI, dan instasi pemerintah lainnya).
2.4.2 Pengalihan dan Perubahan Surat Izin Apotek
Perubahan izin berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 297/Men.Kes/SK/V/1981 pasal 14, diperlukan Apabila :
1. Terjadi pergantian nama apotek,
2. Terjadinya perubahan nama jalan dan nomor bangunan apotek tanpa adanya pemindahan lokasi apotek,
3. Surat Izin Apotek hilang atau rusak,
4. Terjadinya pergantian Apoteker Pengelola Apotek,
5. SIK Apotek dicabut dalam hal APA bukan sebagai PSA,
6. Terjadi pemindahan lokasi apotek,
7. APA meninggal dunia.
2.4.3 Pencabutan Surat Izin Apotek
Surat Izin Apotek (SIA) seperti telah dikatakan berlaku untuk seterusnya selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku, tetapi dalam hal tertentu Walikota dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila :
1. Apoteker sudah tidak lagi dapat memenuhi kewajiban persyaratan sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA).
2. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Surat Izin Kerja apoteker atau rekomendasi organisasi profesi dicabut.
4. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat pelanggaran perundang-undangan.
5. Apotek tidak lagi sesuai dengan Surat Izin Apotek yang telah diterbitkan.
Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MenKes/Per/X/1993, yaitu setelah dikeluarkan :
1. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak tiga kali beturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing dua bulan.
2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek.
Pembekuan izin dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan. Hal ini dapat dilakukan setelah Dinkes menerima laporan pemeriksaan dari kepala Balai POM. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada Balai POM.
Apabila SIA dicabut, APA atau apoteker pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan tersebut mengikuti tatacara sebagai berikut :
1. Dilakukan inventaris terhadap seluruh persediaan narkotik, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia diapotek.
2. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukan ke dalam tempat tertutup dan terkunci.
3. APA wajib melaporkan secara tertulis kepada Dinkes atau petugas yang diberi wewenang olehnya tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi.
2.5 Fungsi dan Peran Apoteker Pengelola Apotek
Apoteker sebagai pengelola apotek dan sumber informasi bagi masyarakat luas harus selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya baik dalam bidang farmasi sendiri, maupun bidang manajerial serta hubungan antar personal. Dengan kemampuan tersebut diharapkan Apoteker dapat menjadi sumber informasi obat dan kesehatan yang lengkap serta terpercaya bagi masyarakat luas hingga dapat melayani dan mengelola obat serta perbekalan farmasi secara profesional. Selain itu Apoteker harus dapat meningkatkan kreativitas dan pengembangan dirinya untuk menunjang kemajuan apotek yang dikelolanya sehingga mampu bertahan dan bersaing dalam menghadapi era globalisasi yang akan datang.
Pekerjaan kefarmasian seorang apoteker di apotek adalah bentuk hakiki dari profesi apoteker berdasarkan peraturan pemerintah, yaitu apotek adalah tempat pengabdian profesi apoteker. Pengabdian profesi apoteker harus dilandasi serta berpegang teguh pada kode etik apoteker, yang selaras dengan sumpah dan janji apoteker. Pekerjaan kefarmasian seorang apoteker di apotek merupakan suatu rangkaian kegiatan berdasarkan keilmuan, tanggung jawab, dan etik profesi. Etik profesi apoteker adalah suatu aturan yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaaan kefarmasian secara profesional serta menghindarkan dirinya dari tindakan tercela yang merugikan profesi apoteker maupun organisasi profesi.
Apoteker merupakan tenaga profesional di bidang kesehatan yang mempunyai tujuan luhur dalam pengabdian bagi kemanusiaan. Pengabdian apoteker berpegang teguh pada etika profesi apoteker Indonesia. Apoteker mempunyai 2 tanggung jawab yaitu sebagai penanggung jawab teknis kefarmasian dan manajer pengelola.
Menurut Undang-Undang RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolahan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sedangkan yang dimaksud Perbekalan farmasi terdiri dari obat, bahan obat, obat-obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (bahan obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetika.
Dalam penanggung jawab teknis kefarmasian di apotek, apoteker dapat menjalankan fungsinya :
1. Mengawasi pelayanan resep (baik pelayanan resep tunai maupun resep kredit),
2. Mengawasi mutu obat yang dibeli dan yang akan dijual,
3. Memberikan pelayanan informasi obat,
4. Membuat laporan mengenal obat-obatan khusus (Narkotika, OKT, KB, dan lain-lain).
Dalam pengelolaan manajerial di apotek, apoteker harus memiliki atau mempunyai kemampuan dalam menjalankan fungsi manajerialnya, yaitu :
1. Perencanaan (Planning), sebagai pengelola apotek, apoteker harus mampu menyusun perencaan dari suatu pekerjaan, cara dan waktu pengerjaan, serta siapa yang mengerjakan. Apoteker harus mampu menyusun rencana agar tujuan apotek tercapai.
2. Pengorganisasian (Organizing), apoteker harus mampu mengatur dan menentukan (mendelegasikan) perkerjaan yang akan dilaksanakan oleh karyawan dengan efektif dan efisien sesuai dengan pendidikan dan pengalaman. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan mengelompokkan pekerjaan sesuai keahlian karyawan, menentukan tanggung jawab dan wewenang untuk tiap pekerjaan dan hasil yang hendak dicapai, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan karyawan.
3. Pelaksanaan (Actuating), apoteker harus dapat menjadi pemimpin yang menjadi panutan karyawan, yaitu mengetahui permasalahan, dapat menunjukan jalan keluar masalah, dan turut berperan aktif dalam kegiatan.
4. Pengawasan (Controlling), apoteker harus selalu melakukan evaluasi setiap kegiatan dan mengambil tindakan demi perbaikan dan peningkatan kualitas, apakah semua sudah berjalan sesuai arah dan tujuan dengan membandingkan hasilnya terhadap suatu standar tertentu.(Hartono, 1998)
2.6 Pengelolaan Apotek
2.6.1 Bidang Pelayanan Kefarmasian
Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993, pengelolaan Apotek dalam bidang pelayanan kefarmasian meliputi:
1. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.
2. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi.
3. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi.
Permenkes No. 922 tahun 1993 menyatakan bahwa apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang tertulis dalam resep dengan obat paten. Bila pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di dalam resep, maka apoteker harus berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang tepat.
Selain obat yang diberikan melalui resep, apotek juga diberi izin untuk menjual obat-obat keras yang dinyatakan sebagai Obat Wajib Apotek. Kriteria obat yang dapat diserahkan kepada pasien tanpa menggunakan resep dokter adalah:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
2.6.2 Bidang Pelayanan Informasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 922 tahun 1993, pengelolaan bidang pelayanan informasi meliputi:
1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya.
Pelayanan informasi di apotek bertujuan memberikan pengertian mengenai penggunaan obat yang aman dan efektif serta memberikan informasi yang objektif kepada berbagai pihak, dan dalam pelaksanaannya pelayanan informasi ini harus didasarkan kepada kepentingan masyarakat.
Dalam KepMenkes No. 347 tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek, dinyatakan bahwa apoteker dapat menyerahkan obat keras tanpa resep dokter kepada pasien di Apotek. Hal ini menyebabkan perlunya peran apoteker di apotek dalam pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE). Apoteker wajib memberikan informasi tentang obat yang diserahkan kepada pasien terutama obat keras tanpa resep dokter. Pemberian informasi meliputi dosis dan aturan pakai, kontra indikasi, efek samping dan informasi lain yang perlu diperhatikan penderita (Depkes RI, 1990).
Pemberian informasi obat kepada masyarakat juga dapat dilakukan melalui brosur, poster dan artikel-artikel pada surat kabar atau majalah atau informasi yang tidak langsung berhubungan dengan obat kepada masyarakat
2.6.3 Bidang Material
Pengelolaan di bidang material meliputi pengelolaan perbekalan farmasi. Dalam Permenkes No. 26 tahun 1981 disebutkan bahwa apotek berkewajiban untuk menyimpan dan menyalurkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Perbekalan farmasi yang disalurkan meliputi obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, kosmetika, dan sebagainya. Ini berarti perbekalan farmasi yang tersedia harus berasal dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (PBF), apotek atau sarana distribusi resmi lainnya.(Depkes RI, 1981)
Penyimpanan perbekalan farmasi harus di tempat yang aman, tidak kena sinar matahari langsung, bersih, tidak lembab, dan disusun secara sistematis. Setiap barang disertai kartu stok untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran barang.
2.6.4 Bidang Administrasi dan Keuangan
Pengelolaan bidang administrasi apotek meliputi administrasi pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penyaluran, peracikan, penyerahan dan pemusnahan perbekalan farmasi serta administrasi penyimpanan dan penggunaan obat-obat narkotika dan psikotropika.(Hartono, 1998)
Pengelolaan administrasi keuangan meliputi proses administrasi pembayaran tunai, pembayaran kredit, pembukuan keuangan, laporan keuangan, pajaj/restribusi dan lalu lintas uang di apotek.
2.6.5 Bidang Ketenagakerjaan
Secara garis besar tenaga kerja yang terlibat di apotek dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Tenaga kerja farmasi, yaitu apoteker dan Asisten Apoteker yang bertugas melakukan pekerjaan kefarmasian.
2. Tenaga kerja non-farmasi, yaitu tenaga kerja yang membantu pelaksanaan pengelolaan apotek, misalnya administrasi umum, administrasi keuangan, kasir, juru resep dan pekerja lainnya.
Setiap tenaga kerja mempunyai wewenang dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan pembagian tugasnya. Masing-masing bagian tidak dapat bekerja secara sendiri-sendiri namun memerlukan kerjasama antara satu dengan lainnya dalam mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini apoteker berperan penting dalam menyusun sistem kerja dan mengorganisir setiap tenaga kerja agar dapat memberikan hasil yang optimal (Hartono, 1998).
2.6.6 Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika
Penyaluran narkotika harus berdasarkan resep dokter dan hanya boleh dilakukan oleh apotek. Apotek dilarang mengulangi penyerahan narkotika atas dasar resep dokter yang sama dari resep dokter atau atas dasar salinan resep dokter. Apoteker wajib melaporkan mengenai pemasukan dan pengeluaran narkotika kepada Departemen Kesehatan setiap bulan (Depkes RI, 1976)
Penyimpanan Narkotika menurut Permenkes No. 28 tahun 1978 yaitu :
1. Apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika yang terkunci dengan baik.
2. Tempat khusus tersebut harus memenui persyaratan :
Terbuat dari kayu, harus mempunyai kunci yang kuat, tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, bila tempat khususnya berupa lemari berukuran 40 x 80 x 100 cm, maka lemari harus dibuat pada tembok/lantai, anak kunci dikuasai oleh penanggungjawab atau pegawai yang diberi kuasa, lemari disimpan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
3. Untuk narkotika yang rusak/tidak memenuhi syarat, maka apoteker dapat memusnahkan narkotika disaksikan oleh petugas Balai POM, dan Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten.
4. Pemusnahan narkotika harus disertai berita acara yang memuat waktu pemusnahan, nama APA, nama seorang saksi dari pemerintah dan dari perusahaan, nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan, cara pemusnahan dan tandatangan penanggung jawab apotek dan saksi.
5. Berita acara tersebut dikirimkan ke Balai POM dan Dinkes Kota setempat. (Depkes RI, 1978)
Penyaluran psikotropika dilakukan oleh pabrik obat, PBF, apotek, sarana penyimpan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, dan lembaga pendidikan/ penelitian. Seperti narkotika, penyimpanan psikotropika dilakukan secara terpisah dari obat lain untuk memudahkan pengawasan dan pelaporan. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada penderita berdasarkan resep dokter. Seperti halnya narkotika, apoteker wajib membuat dan menyimpan catatan tentang psikotropika dan melaporkannya ke Depkes setiap bulan. (Depkes RI, 1997)
0 comments:
Posting Komentar