Senin, 22 November 2010

NFLUENZA DAN BATUK

Definisi
A. Influenza
Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam, gigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorok dan batuk non produktif. Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri. Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B, C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemik. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemik. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenitasnya untuk manusia mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja (Nelwan, 2006).
Influenza disebabkan oleh virus RNA yang dapat dihidup pada manusia, kuda, babi, ikan, ayam, itik dan burung. Virus RNA terdiri atas inti protein yang antara lain RNA dan polymerase Struktur antigenik virus influenza meliputi tiga bagian utama berupa antigen S (soluble antigen), hemaglutinin dan neuramidase. Antigen S yang merupakan inti partikel virus yang terdiri atas ribonukleoprotein. Antigen ini spesifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin menonjol keluar dari selubung virus dan memegang peran kepada imunitas terhadap virus. Neuramidase juga menonjol keluar dari selubung virus dan hanya memegang peran yang minim pada imunitas (Tjay dan Rahardja, 2002; Nelwan, 2006).

B. Batuk
Batuk adalah suatu refleks fisiologi pada keadaan sehat maupun sakit yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran nafas dari dahak, zat-zat perangsang asing dan unsur infeksi. Refleks batuk lazimnya diakibatkan oleh rangsangan dari selaput lendir saluran pernafasan, yang terletak dari beberapa bagian dari tenggorokan (epiglotis, larynx, trachea, dan bronchi). Reflek batuk dapat ditimbulkan karena infeksi saluran pernafasan oleh virus atau bakteri (tuberkulosa dan influenza), alergi (asma), sebab-sebab mekanis (asap rokok, debu, makanan yang merangsang tenggorokan, tumor paru-paru), perubahan suhu yang mendadak, dan rangsangan kimiawi (gas, bau) (Tjay dan Rahardja, 2002; BPOM RI, 2002).

II. Patofisiologi
A. Influenza
Transimisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya ditraktus respiratorius. Penularan bergantung pada ukuran partikel (droplet) tang membawa virus tersebut masuk ke dalam saluran nafas. Pada dosisi infeksius 10 virus/droplet 50% orang-orang terserang dosis ini akan menderita influenza. Virus akan melekat pada epitel sel di hidung dan bronkus. Setelah virus berhasil menerobos masuk ke dalam sel, dalam beberapa jam sudah mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah ke sel lain. Virus influenza dapat mengakibatkan demam tapi tidak sehebat efek pirogen lipopoli-sakarida kuman Gram negatif (Nelwan, 2006).

B. Batuk
Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran nafas. Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu fase iritasi, fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspulsi/ekspirasi. Iritasi salah satu ujung saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar atau sera aferen cabang faring dari nervus glossofaringeal dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang. Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke medula, dari medula dikirim jawaban ke otot-otot dinding dada dan laring sehingga timbul batuk (Aditama, 1993; Yunus 1993).
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang ter-tutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah (Aditama, 1993).
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50-¬ 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk (Aditama, 1993).

Gambar 1. Mekanisme batuk
III. Manifestasi Klinik
A. Influenza
Pada umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, batuk, pilek, dan kadang-kadang sakit pada waktu menelan dan suara serak. Gejala-gejala ini dapat didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin. Pada pemeriksaan fisis tidakdapat ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemia ringan sampai berat pada selaput lendir tenggorok. Gejala-gejala akut ini dapat berlangsung untuk beberapa hari dan hilang dengan spontan. Tubuh dapat mengatasi virus influenza melalui mekanisme produksi zat antibodi dan penglepasan interferon. Setelah sembuh akan terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus yang homolog (Nelwan, 2006).
Pada pasien usia lanjut harus dipastikan apakah influenza juga menyerang paru-paru. Pada keadaan tersebut, pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan bunyi nafas yang abnormal. Komplikasi yang mungkin pada pasien ini adalah infeksi sekunder, seperti pneumonia bakterial. Batuk-batuk kering berubah menjadi batuk yang produktif yang kadang-kadang dapat mengandung bercak-bercak warna coklat. Penyakit umumnya akan membaik dengan sendirinya tetapi kemudian capkali pasien akan mengeluh lagi mengenai demam dan sakit dada. Pemerikasaan sinartembus dapat menunjukkan adanya infiltrat di paru-paru. Infeksi sekunder ini umumnya akibat streptokokus pneumonia atau Hemophilus influenzae. Infeksi sekunder yang berat sekali, dikenal sebagai pneumonia stafilokok fulminans dapat terjadi beberapa hari setelah seseorang diserang influenza. Pada pasien terjadi sesak nafas, diare, batuk dengan bercak merah, hipotensi dan gejala-gejala kegagalan sirkulasi (Nelwan, 2006).

B. Batuk
Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang reseptor batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan-keadaan psikogenik tertentu. Tentunya diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk mendeteksi keadaan-keadaan tersebut. Dalam hal ini perlu dilakukan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik, dan mungkin juga pemeriksaan lain seperti laboratorium darah dan sputum, rontgen toraks, tes fungsi paru dan lain-lain. Khususnya batuk yang sangat sering dan durasinya lama. Berdasarkan durasinya batuk dapat bersifat akut, sub akut, dan kronik. Batuk yang kurang dari tiga minggu disebut batuk akut. Penyebab batuk akut umumnya adalah iritasi, penyempitan saluran napas akut, dan infeksi virus atau bakteri. Pada infeksi akut pernapasan akibat napas, seringkali diikuti dengan batuk lama 3-8 minggu akibat kerusakan epitel saluran napas, karena itu biasa disebut dengan istilah batuk subakut. Jika durasinya lebih dari 8 minggu, dikenal dengan batuk kronik yang dapat menimbulkan masalah dari yang ringan sampai yang berat. Batuk kronik dapat terjadi karena penyakit penyempitan kronik saluran napas atas dan gangguan lambung.
Batuk pada dasarnya terdapat dua jenis, yaitu batuk produktif dan batuk non produktif. Batuk Produktif merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi dapat mengeluarkan zat-zat asing dari dirinya, seperti kuman, debu, asap rokok, dan sebagainya serta dahak dari batang tenggorokannya. Maka pada dasarnya jenis batuk ini tidak boleh ditekan. Sedangkan Batuk non produktif, merupakan batuk yang bersifat kering atau tanpa mengeluarkan dahak, seperti batuk rejan (Pertussis) (Tjay dan Rahardja, 2002).

IV. Diagnosis
A. Influenza
Diagnosis pasti penyakit influenza dapat diperoleh melalui isolasi virus maupun melalui pemeriksaan serologis. Untuk mengisolasi virus diperlukan usap tenggorokan atau usap hidung dan harus diperoleh sedini mungkin, biasanya pada hari-hari pertama sakit. Diagnosis serologis dapat diperoleh melalui uji fiksasi komplemen atau inhibisi hemaglutinasi. Akan dapat ditunjukkan kenaikan titer sebanyak empat kali antara serum pertama dengan serum konvalesen atau satu titer tunggal yang tinggi. Pada saat ini antiinfluenza IgM juga digunakan dibeberapa tempat. Diagnosis cepat lainnya dapat juga diperoleh dengan pemeriksaan antibodi fluoresen yang khusus tersedia untuk tipe virus influenza A. PCR dan RT-PCR sangat berguna untuk diagnose cepat virus lainnya yang dapat pula menyerang saluran nafas antara lain adenovirus, parainfluenza virus, rinovirus, respiratory syncytial virus, cytomegalovirus, dan enterovirus. Keterlibatan berbagai jenis virus ini dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan serologis atau dengan isolasi langsung (Nelwan, 2006).

B. Batuk
 Anamnesis
Anamnesis penyakit sebelumnya dapat mengarahkan pada diagnosis saat ini. Gejala terkait seperti sakit telinga, hidung tersumbat, sakit tenggorokkan, nyeri hati, sakit perut membantu melokalisir tempat iritasi tersebut. Batuk yang terjadi kadang-kadang dan berhubungan dengan paparaan suatu keadaan lingkungan (hawa dingin, debu asap, angin, dan lain-lainnya), akan mengiring kita kepada penyebab batuk itu. Batuk berdahak (sputum mucopuluren) menunujukkan adanya kelainan saluran napas.

 Pemeriksaan Fisik
1. Telinga
Periksalah adanya benda asing pada saluran telinga luar, periksa juga adanya radang membran timpani.
2. Nasofaring
Sinus harus di palpasi untuk mencari nyeri dan ostia diperiksa untuk mencari adanya ingus yang menyumbat. Edema mukosa hidung dan rinorea dapat disebabkan batuk karena drainase posterior di hipofaring. Faring dan hipofaring harus diperiksa untuk mencari peradangan atau masa.
3. Leher
Menggelembungnya vena-vena leher (neck vein engorgement) dapat terlihat pada pasien dengan masa mediastinal yang batuk karena tekanan pada saraf laryngeal rekuren atau saraf frenikus. Distensi vena jugular juga dapat menandakan adanya edema paru yang dapat menyebabkan batuk.
4. Dada
Pasien dengan obstruksi saluran nafas dapat memperlihatkan rongga dada yang hiperekspansi/kontraksi otot-otot bantu nafas auskultasi pada keadaan ini akan terdengar suatu ekspirasi napas yang memanjang, ronki kasar atau mengi (wheezing). Penyakit parenkim seperti pneumonia, fibrosis interstisial dan edema paru biasanya menimbulkan suara ronki. Peneumonia juga dapat menyebabkan melemahnya suara nafas, pekak (dullness) pada perkusi dan fremitus yang mengeras. Edema paru dan fibrosis interstial biasanya menyebar meluas dikedua parenkim paru dan menimbulkan bunyi ronki.
5. Abdomen
Adanya masa atau peradangan subdiafragma dapat menyebabkan iritasi pada diafragma. Batuk pada keadaan ini biasanya akut/kronis. Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan teliti agar tak terlewatkan kelainan ini.

 Pemeriksaan dahak
1. Pewarnaan gram dan pemeriksaan hasil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan rutin.
2. Kultur mikrobakteri dan jamur, pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang didapatkan adanya kelainan foto toraks berupa infiltrate di apeks atau kavitas pada pasien imunokompromis.
3. Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita kanker paru.
4. Pewarnaan silver pada dahak untuk mencari pneumocystis carinir pada pasien imunokompromis.



 Pencitraan
1. Foto toraks dilakukan pada setiap kasus dimana dicurigai adanya kelainan dipleura, parenkim atau mediastinum
2. Foto sinus, dianjurkan dibuat pada pasien yang merasa nyeri pada palpasi sinus atau adanya ingus purulen dari astium. Hal ini juga harus dilakukan ketika mencari sinusitik kronik pada pasien dengan bronkhospasme karena sinusitis kronik sering memicu bronkhospasme yang menetap karena mekanisme yang belum diketahui (Amin, 2006).

V. Hasil Terapi yang diinginkan
1. Meringankan atau menghilangkan gejala-gejala yang timbul.
2. Menunjukkan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih, tidak dispnea/sesak nafas, sianosis.
3. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan.
4. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi.
5. Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
6. Mempertahankan berat badan normal (Sipahutar, 2007; Puspitasari, 2007).

VI. Penanganan
A. Influenza
1. Terapi Non Farmakologi
Influenza umumnya dapat sembuh sendiri oleh daya tahan tubuh. Beberapa tindakan yang dianjurkan untuk meringankan gejala influenza antara lain:
a. Beristirahat antara 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan.
b. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang tinggi akan menambah daya tahan tubuh. Makan buah-buahan segar yang banyak mengandung vitamin.
c. Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi rasa kering ditenggorokan mengencerkan dahak dan membantu menurunkan demam.
d. Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
e. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
f. Hidung tersumbat dapat diatasi dengan menghirup uap hangat yang dihasilkan dari air hangat di wadah bermulut lebar (panci), ditetesi dengan beberapa tetes minyak atsiri. Minyak atsiri yang ditambahkan bisa berupa minyak mint (berasal dari daun menta piperita), minyak kayu putih, minyak adas, atau tea tree oil (berasal dari penyulingan daun eucalyptus)
g. Minum minuman pelega tenggorokan/pengencer dahak dan pelancar aliran darah seperti jahe, lemongrass/sereh, kayu manis, mint, chamomil (Depkes RI, 1997, Rasmaliah, 2004, Puspitasari, 2007).

2. Terapi Farmakologi
a. Antipiretik untuk mengatasi panas/demam
 Parasetamol / Asetaminofen
Parasetamol mempunyai khasiat analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiinflamasi. Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat sitesa prostaglandin di otak tetapi sedikit aktivitasnya sebagai inhibitor prostaglandin perifer.
Farmakokinetik
Level serum.
10-20 mg/L (66-132 µmol/L) kerusakan hati dapat terjadi setelah penggunaan over dosis akut dengan konsentrasi serum > 300 mg/L (2 mmol/L) setelah 4 jam atau 45 mg/L (300 µmol/L) setelah 12 jam setelah over dosis akut dengan kerusakan hati, sedangkan keracunan kemungkinan tidak akan terjadi bila level < 120 mg/L (800 µmol/L) setelah 4 jam atau 30 mg/L (200 µmol/L) setelah 12 jam.
Absorpsi dan Distribusi.
Absorpsi cepat dari trakstus GI, konsentrasi plasma puncak tercapai pada 0.5-2 jam. Pada dosis terapi, obat dalam bentuk tak terikat plasma protein; pada over dosis 20-50% terikat protein.
Metabolisme dan Ekskresi.
Dalam hati, parasetamol diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi denngan kemih sebagai konjugat glukuronida dan sulfat.
Efek samping
Efek samping antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronik dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkan necrose hati yang tidak reversibel.
Dosis
Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5- 1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-14 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay dan Rahardja, 2002; Chairun, 2006).
 Ibuprofen
Ibuprofen adalah NSAID yang memiliki aktivitas analgetik dan antipiretik. Ibuprofen merupakan inhibitor non-selektif cyclo-oxygenase-1 (COX-1) dan COX-2.
Farmakokinetik
Level serum.
10 mg/L untuk efek antipiretik. Konsentrasi serum diatas 200 mg/L satu jam setelah over dosis akut kemungkinan karena keracunan hebat.
Absorpsi
Secara cepat diabsoprsi dari traktus GI dengan bioavailabilitas diatas 80%. Kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Terikat kuat, lebih dari 99% dengan plasma protein.
Metabolisme dan Ekskresi.
Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugasinya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi.
Dosis
Nyeri (haid), demam, rema, permulaan 400 mg p.c/d.c, lalu 3-4 dd 200-400 mg, demam pada anak-anak 6-12 bulan 3 dd 50 mg, 1-3 tahun 3-4 dd 50 mg, 4-8 tahun 3-4 dd 100 mg, 9-12 tahun 3-4 dd 200 mg (Wilmana, 2004; Tjay dan Rahardja, 2002; Chairun, 2006) .

b. Dekongestan nasal / pelega hidung
Dekongestan nasal dipasarkan dalam bentuk obat oral dan bentuk spray hidung. Beberapa jenis obat dekongestan nasal:
 Fenilpropanilamin (PPA)
Fenilpropanolamin adalah derivat tanpa gugus –CH pada atom N dengan khasiat yang menyerupai efedrin. Kerjanya lebih panjang; efek sentral dan efek jantung lebih ringan. Dosis oral 3-4 dd 15-25 mg.
 Efedrin
Efedrin adalah alkaloid dari tumbuhan Ephedra vulgaris. Penggunaan utamanya adalah pada asam berkat efek bronchodilatasi kuat (β2), sebagai decongestivum dan midriatikum yang kurang merangsang dibandingkan dengan adrenalin. Resorpsinya dari usus baik, bronchodilatasi sudah nampak dalam 15-60 menit dan bertahan 2-5 jam. Plasma t ½ nya 3-6 jam tergantung dari pH. Dalam hati sebagian zat dirombak; ekskresinya berlangsung lewat urin khusus secara utuh. Dosis pada asma 3-4 dd 25-50 mg (-HCl), anak-anak 2-3 mg/kg sehari dalam 4-6 dosis. Tetes hidung larutan-sulfat 0,5-2%, dalam tetes mata 3-4%.
 Pseudoefedrin
Pseudoefedrin adalah isomer-dekstro dengan khasiat yang sama. Daya bronchodilatasi lebih lemah, efek samping terhadap SSP dan jantung juga lebih ringan. Plasma t ½ nya 7 jam.
 Oksimetazolin
Derivat imidazolin ini bekerja langsung terhadap reseptor alfa tanpa efek atas reseptor beta. Setelah diteteskan di hidung, adalm waktu 5-10 menit terjadi vasokontriksi mukosa yang bengkak dan kemampatan hilang. Efeknya bertahan 5 jam. Efek sampingnya dapat berupa rasa terbakar dan teriritasi dari selaput lendir hidung dengan menimbulkan bersin. Dosis anak-anak daiats 12 tahun dan dewasa 1-3 dd 2-3 tetes larutan 0,05% (HCl) disetiap lubang hidung, anak-anak 2-10 tahun larutan 0,025%.
 Xilometazolin
Derivat imidazolin dengan daya kerja dan penggunaan sama. Derivat imidazolin khususnya digunakan sebagai dekongestivum pada selaput lendir bengkak di hidung dan mata, pilek, selesma, hay fever, sinusitis. Dosis nasal 1-3 dd 2-3 tetes larutan 0,1% (HCl), maks 6 x sehari. Anak-anak 2-6 tahun larutan 0,05%.
Namun, ditemukan juga bentuk pelega hidung berbentuk inhaler yang berisi mentol, camphor, metil salisilat ditambah dengan minyak atsiri seperti minyak pumilio pine.

c. Virustatika
Virustatika digunakan sebagai prevensi atau meringankan gejala penyakit, bila terjadi infeksi.
 Amantadin dapat digunakan selama 10 hari bersama suntikan vaksin influenza guna melindungi terhadap virus-A2 selama masa vaksin belum aktif (masa inkubasi 10 hari), terutama pada orang-orang dengan daya tangkis lemah.
 Zanamivir termasuk kelompok zat baru neuramidase-inhibitor yang ternyata efektif untuk mencegah dan menangani influenza. Obat ini menghambat enzim neuramidase pada permukaan virus. Dengan demikian, pelepasan partikel virus keluar sel tuan rumah dihindarkan, sehingga sel-sel berdekatan dalam saluran nafas tidak ditulari. Digunakan sebagai inhalasi 1-2 dd 10 mg.
 Oseltamivir 2 x 75 mg sehari selama 5 hari akan memperpendek masa sakit.
d. Antibiotika
Hanya digunakan pada orang yang beresiko tinggi dengan daya tangkis lemah, seperti penderita bronkhitis kronis, jantung atau ginjal. Mereka mudah dihinggapi infeksi sekunder dengan bakteri, khususnya radang paru (pneumonia), yang tak jarang berakhir fatal. Oleh karena itu, di Eropa orang yang berisiko tinggi dianjurkan untuk setiap tahun pada permulaan musim dingin melindungi diri dengan injeksi virus influenza.
e. Vitamin C
Vitamin C denagn dosis tinggi (3-4 dd 1000 mg) berkhasiat meringankan gejala dan mempersingkat lamanya infeksi, berdasarkan stimulasi perbanyakan serta aktivitas limfo-T dan makrofag pada dosis di atas 2,5 g sehari.
f. Seng-glukonat
Seng-glukonat dalam bentuk tablet hisap dengan 13,3 mg Zn yang digunakan sedini mungkin pada permulaan infeksi 5-6 x sehari dapat mempersingkat lamanya masa sakit. Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasarkan blokade dari tempat-tempat di permukaan virus yang dapat mengikat pada sel-sel tubuh atau juga atas dasar daya ion Zn untuk mneghambat pembelahan polipeptida virus serta aktivasi limfosit (Tjay dan Rahardja, 2002).
B. Batuk
1. Terapi Non Farmakologi
Penderita-penderita dengan batuk tanpa gangguan yang disebabkan oleh penyakit akut dan sembuh sendiri biasanya tidak perlu obat (Yunus, 1993). Pada umumnya batuk berdahak/produktif maupun tidak berdahak/non produktif dapat dikurangi dengan cara sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurang iiritasi atau rasa gatal serta menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan dan udara malam yang dingin (BPOM RI, 2002). Menghirup uap mentol atau minyak atsiri juga dapat meringankan batuk produktif, tatpi cara pengobatan ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak di bawah usia 2 tahun karaena dapat myebabkan kejang larynx (Tjay dan Rahardja, 2002).

2. Terapi Farmakologi
a. Pengobatan spesifik
Apabila penyebab batuk diketahui maka pengobatan harus ditujukan terhadap penyebab tersebut. Dengan evaluasi diagnostik yang terpadu, pada hampir semua penderita dapat diketahui penyebab batuk kroniknya. Pengobatan spesifik batuk tergantung dari etiologi atau mekanismenya :
 Asma diobati dengan bronkodilator atau dengan kortikosteroid. Postnasal drip karena sinusitis diobati dengan antibiotik, obat semprot hidung dan kombinasi antihistamin - dekongestan;
 postnasal drip karena alergi atau rinitis nonalergi ditanggulangi dengan menghindari lingkungan yang mempunyai faktor pencetus dan kombinasi antihistamin - dekongestan.
 Refluks gastroesophageal diatasi dengan meninggikan kepala, modifikasi diet, antasid dan simetidin.
 Batuk pada bronkitis kronik diobati dengan menghentikan merokok. Antibiotik diberikan pada pneumonia, sarkoidosis diobati dengan kortikosteroid dan batuk pada gagal jantung kongestif dengan digoksin dan furosemid.
 Pengobatan spesifik juga dapat berupa tindakan bedah seperti reseksi paru pada kanker paru, polipektomi, menghilangkan rambut dari saluran telinga luar (Yunus, 1993).
b. Pengobatan simptomatik
Diberikan baik kepada penderita yang tidak dapat ditentukan penyebab batuknya maupun kepada penderita yang batuknya merupakan gangguan, tidak berfungsi baik dan potensial dapat menimbulkan komplikasi.
 Batuk produktif
 Emolliensia
Memperlunak rangsangan batuk, memperlicin tenggorokan agar tidak kering, dan melunakan selaput lendir yang teriritasi untuk tujuan ini banyak digunakan sirup, zat-zat lendir, dan gula-gula, seperti, drop, permen, pastilles isap.
 Ekspektoransia
Memperbanyak produksi dahak (yang encer) dan demikian mengurangi kekentalannya, sehingga mempermudah pengeluarannya dengan batuk, misalnya guaiakol, radix Ipeca, dan ammonium klorida dalam obat batuk hitam yang terkenal.
 Mukolitika
Obat ini memecah rantai molekul mukoprotein sehingga menurunkan viskositas mukus. Asetilsistein, karbosistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol.
 Batuk non produkttif
Usaha yang terbaik adalah dengan menekan susunan saraf pusat yang menjadi pusat batuk, yaitu dengan obat penekan batuk. Obat-obat yang berdaya menekan rangsangan batuk:
 zat-zat pereda : kodein, noskapin, dekstrometorfan.
 Antihistaminika : prometazin, difenhidramin, dan d-klorfeniramin. Obat-obat ini sering kali efektif pula berdasarkan efek sedatifnya dan terhadap perasaan menggelitik pada tenggorokan.
 Anestetika lokal : pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan rangsangan batuk ke otak (Tjay dan Rahardja, 2002).

VII. Evaluasi Hasil Terapi
Setelah dilakukan terapi, parameter klinik perlu dilakukan monitoring untuk memastikan efikasi dan keamanan dari cara pengobatan, diantaranya:
1. Produksi sputum
2. Batuk
3. Demam (suhu tubuh)
4. rasa tidak enak badan (malaise)
5. mual (nausea)
6. muntah
7. lesu (Glover and Reed, 1999)
Jika batuk berlangsung lebih dari 2 hingga 3 minggu maka digolongkan sebagai batuk kronik, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang :
 Foto rontgen toraks perlu dilakukan pada semua pasien dengan batuk kronik. Foto lama atau foto sebelumnya juga perlu dievaluasi. Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan respiratorik bawah dan patologi kardiovaskular.
 Uji fungsi paru merupakan metode pengukuran perpindahan udara ke dalam dan ke luar paru-paru selama manuver pernafasan tertentu. Parameter yang sering digunakan antara lain adalah volume, kapasitas, aliran udara, tahanan (resistance), dan komplians (compliance) paru (Andra, 2006).

VIII. Contoh Kasus dan Solusi
Seorang anak berumur 1 tahun, 5 bulan, BB 8.4 kg, TB 78 cm. Sejak umur 4 bulan diketahui menderita ASD sekundum 4.5 mm. Dan hanya menjalankan kontrol 1 bulan sekali, kemudian 3 bulan sekali. Pada saat kontrol terakhir, ASDnya belum berkurang dan didiagnosis adanya kemungkinan multiple ASD. Ketika kontrol, anak dalam kondisi batuk dan pilek. Dokter memberikan obat antibiotika (cloracef), racikan untuk batuk pileknya (nalgestan, epexol, kenacort) serta vitamin. Akan tetapi sang ibu hanya memberikan vitamin kepada anak tersebut. Selain itu sang ibu juga melakukan terapi kepada anaknya diantaranya selalu menjemur anaknya setiap pagi dan memberikan cairan-cairan hangat (sup) untuk mengencerkan dahak. Dan ketika anak demam (suhu badan > 380C) sang ibu memberikan parasetamol.

0 comments: