Sabtu, 20 November 2010

Diabetes Gestasional

1.1 GAMBARAN UMUM DIABETES MELITUS

1.1.1 Pendahuluan

Diabetes melitus dapat menyerang warga segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Di Indonesia saat ini masalah DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kulitas SDM, terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya (PERKENI, 2002).

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koronner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2005).

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2005).

1.1.2 Epidemiologi

Saat ini angka kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2002). Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Diabetes melitus yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 1997).

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini telah dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar 1,5-2,3%, kecuali di Manado yang agak tinggi yaitu sebesar 6%.

Suatu penelitian terakhir yang dilakukan di Jakarta, kekerapan DM di daerah sub-urban yaitu Depok adalah 12,8%, sedangkan di daerah rural yang dilakukan di Jawa Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) di Jawa Timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah rural. Hasil penelitian epidemiologis di Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 di Depok menjadu 12,8%. Demikian pula prevalensi DM di Ujung Pandang (daerah urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998 (Suyono, 2005).

Kekerapan DM tipe 1 di negara Barat + 10% dari DM tipe 2, di negara tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya biasanya timbul pada masa anak-anak dan puncaknya pada masa akil balig. Tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa. Kekerapan tertinggi ditemukan di Eropa Utara. Ada kecenderungan bahwa kekerapan ini berbeda antara Eropa Utara dengan Selatan, atau dengan kata lain ada gradien antara Utara dengan Selatan di mana Utara lebih banyak dari Selatan. Dan akhir-akhir ini tampak bahwa kekerapan DM tipe 1 di Eropa meningkat, tidak seperti di Amerika Serikat yang rata-rata relatif stabil.

DM tipe 2 mengenai sedikitnya 90% dari 14 juta orang penderita diabetes di Amerika Serikat (ADA, 1999). Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada dekade ketujuh kekerapan diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih tinggi daripada rata-data orang dewasa. Kekerapan DM di Eropa dan di Amerika Serikat berkisar antara 2-5% sedangkan di negara berkembang antara 1,5-2 % (Suyono, 2005).

1.1.3 Diagnosis

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (PERKENI, 2002).

1.1.3.1 Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut (PERKENI, 2002) :

  1. Usia > 45 tahun
  2. Berat badan lebih BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2
  3. Hipertensi (³ 140/90 mmHg)
  4. Riwayat DM dalam garis keturunan
  5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram
  6. Kolesterol HDL £ 35 mg/dl atau trigliserida ³ 250 mg/dl.

Catatan: Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan disiplidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan (PERKENI, 2002).

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO standar) (PERKENI, 2002).

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)



Bukan DM

Belum pasti DM

DM

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)

Plasma vena

<>

110-199

> 200


Darah kapiler

<>

90-199

> 200

Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)

Plasma vena

<>

110-125

> 126


Darah kapiler

<>

90-199

> 110

Sumber : Soegondo S (2005) Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu.Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 25-9

1.1.3.2 Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus dan gangguan tolerangi glukosa

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ³ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ³ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ³ 200 mg/dl (PERKENI, 2002). (Gambar 1)

Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) :

  1. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
  2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
  3. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan
  4. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
  5. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit
  6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
  7. Selamam proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Tabel 2. Kriteria diagnostik diabetes melitus* dan gangguan toleransi glukosa

  1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl

Atau

  1. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ³ 126 mg/dl

Atau

  1. Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**

Sumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2002) Konsensus pengelelolaan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2002. PB Perkeni, Jakarta. hal 1-19

1.1.4 Klasifikasi

Tabel 3. Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus

I. Diabetes Melitus Tipe 1 [Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM]

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)

  1. Imunologik
  1. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2 [Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)]

(Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)


III. Diabetes Melitus Tipe Lain


Defek genetik fungsi sel beta


Defek genetik kerja insulin


Penyakit endokrin pankreas


Endokrinopati


Karena obat/zat kimia


Infeksi


Imunologi (jarang)


Sindrom genetik lain

IV. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

Catatan : Diabetes melitus pada sirosis hati belum bisa dikelompokkan ke dalam klasifikasi di atas karena mekanismenya belum dapat ditentukan dengan pasti


Sumber : Soegondo S (2005) Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu.Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 25

2.1 DIABETES MELITUS GESTASIONAL

Selama lebih dari satu abad, telah diketahui bahwa diabetes yang datang pada saat kehamilan dapat menyebabkan efek buruk pada keadaan klinis fetus dan neonatus. Pada awal tahun 1940-an, diketahui bahwa wanita yang menderita diabetes beberapa tahun setelah kehamilan akan mengalami mortalitas fetus dan neonatus yang tinggi. Menjelang tahun 1950-an istilah diabetes melitus gestasional (DMG) diperkenalkan dan diartikan sebagai sebuah kondisi sementara (transient) yang mempengaruhi keadaan klinis janin secara buruk. Pada tahun 1960-an, O’Sullivan menemukan bahwa derajat toleransi glukosa selama kehamilan berhubungan dengan risiko perkembangan diabetes setelah kehamilan. Ia mengajukan kriteria untuk interpretasi toleransi glukosa oral (TTGO) selama kehamilan yang secara statistik mendasar dan membuat suatu nilai titik pokok – kira-kira 2 standar deviasi – untuk mendiagnosis intoleransi glukosa selama kehamilan. Pada tahun 1980-an, nilai tersebut disesuaikan terhadap metode modern untuk pengukuran glukosa dan diaplikasikan kepada definisi modern dari diabetes melitus gestasional (Buchanan dan Xiang, 2005).

Diabetes melitus gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu intoleransi glukosa yang pertama kali dideteksi selama kehamilan. Definisi sederhana ini menggambarkan kompleksitas sebuah kondisi yang merentangkan sebuah spektrum glikemia, patofisiologi, efek klinik dan kepada siapa deteksi dan penatalaksanaan ditujukan. Definisi ini juga dapat mencakup pasien yang sebetulnya sudah mengidap DM (tetapi belum teridentifikasi), dan baru diketahui saat kehamilan (DM + hamil) di samping yang benar-benar diabetes melitus gestasional menurut definisi lama. Sesudah kehamilan selesai baru kemudian dapat dipilah mana yang DMG dan mana yang DM + hamil (PERKENI, 2002).

Terdapat bukti yang meyakinkan bahwa hiperglikemia maternal ringan adalah faktor risiko untuk morbiditas fetus, namun morbiditas tersebut hanya terjadi pada sejumlah kecil kasus. Kegagalan mengenali dan menangani kondisi ini akan berakibat pada morbiditas yang tidak diinginkan pada beberapa kehamilan, sedangkan penatalaksanaan yang terlalu agresif akan berakibat timbulnya intervensi yang tidak diperlukan. Skripsi ini akan membahas lebih dalam deteksi dan penatalaksanaan DMG dengan mengutamakan stratifikasi risiko untuk meminimalkan kesalahan penanganan pada wanita DMG (Metzger et al, 1998).

2.2.1 Deteksi DMG

Faktor risiko DMG ialah : abortus berulang, riwayat pernah melahirkan tanpa sebab yang jelas, riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan, pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram, mempunyai riwayat pre-eklamsia dan polihidramnion. Faktor predisposisi DMG ialah : umur ibu hamil lebih dari 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, pernah DMG pada kehamilan sebelumnya, dan infeksi saluran kemih yang berulang-ulang selama hamil (PERKENI, 2002).

Risiko terhadap fetus meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya keadaan glikemia pada ibu. Dengan demikian, tidak terdapat ambang glikemia yang membedakan secara jelas antara kehamilan risiko rendah dan tinggi. Kriteria diagnostik DMG dapat ditetapkan hanya untuk mengidentifikasi kehamilan yang sangat berisiko tinggi dan semua risiko kehamilan (Sacks et al, 1995). Pendekatan tersebut diadopsi oleh Fourth International Workshop-Conference on Gestational Diabetes Mellitus dan digambarkan di bawah ini (Metzger et al, 1998).

2.2.1.1 Skrining

TABLE 4. CLINICAL SCREENING FOR GESTATIONAL DIABETES MELLITUS*

Risk category and clinical characteristic

Recommendation for serum or plasma glucose screening

High risk (one or more of the following)

Marked obesity

Diabetes in first degree relative

History of glucose intolerance

Previous infant with macrosomia

Current glycosuria

At initial antepartum visit or as soon as possible there after, repeat at 24-28 weeks if no diagnosis of gestational diabetes mellitus by that time

Average risk

The patient fits neither the low nor the high risk profile

Between 24 and 28 weeks of gestation

Low risk (one or more of the following)

Age less than 25

Belongs to low risk race or ethnic group ††

No diabetes in first degree relative

Normal pregnancy weight and weight gain during pregnancy

No history of abnormal blood glucose concentration

No prior poor obstretical outcomes

Not required

* Data are from Metzger et al

Assesment is performed at the initial antepartum visits and repeated at 24 to 28 weeks of gestation in patients in whom gestational diabetes has not been diagnosed

†† Low risk race and ethnic group are those other than Hispanic, black, native American, South or East Asian, Pacific Islander, or indigenous Australian

Prosedur skrining mengidentifikasi wanita hamil yang berada pada risiko kehamilan tinggi yang dikuatkan dengan uji diagnostik, tes toleransi glukosa oral (TTGO). Saat ini dianjurkan untuk dilakukannya skrining pada semua wanita hamil dengan cara mengukur glukosa serum atau plasma antara minggu 24 dan 28 masa kehamilan (National Diabetes Data Group, 1979). Namun, beberapa wanita mempunyai gambaran klinik yang menunjukkan risiko DMG yang rendah yang tidak memerlukan skrining. Sedangkan, pada sebagian yang lain mempunyai karakteristik risiko tinggi yang mengharuskan dilakukannya skrining. Skrining DMG seharusnya meliputi penilaian manifestasi klinik pada semua wanita hamil untuk menentukan risiko DMG (Lihat tabel 4) dan skrining glukosa serum pada wanita yang tidak mempunyai gambaran klinik risiko rendah (Lihat tabel 5) (Metzger et al, 1998).

TABLE 5. SERUM OR PLASMA GLUCOSE SCREENING FOR GESTATIONAL DIABETES MELLITUS WITH THE 50-g ORAL GLUCOSE CHALLENGE TEST*

Serum glucose cutoff point

Proportion of women with positive test ††

Sensitivity for gestational diabetes mellitus

> 140 mg/dl (7.8 mmol/liter)

14-28

80%

> 130 mg/dl (7.2 mmol/liter)

20-25

90%

* Recommendation are adaptes from Metzger et al. Serum or plasma glucose is measured one hour after the glucose challenge, which can be performed at any time of day, without regard to the time of last meal. In women with very high risk clinical characteristic, diagnostic testing may be performed without prior glucose screening

Venous serum or plasma glucose concentration is measured by methode with high precision and appropriate quality control

†† The percentage may vary according to race or ethnic group and glucose tolerance test criteria for diagnosis

Penilaian awal seharusnya dibuat pada kunjungan antenatal care (ANC) pertama. Wanita yang mempunyai karakteristik risiko tinggi harus menjalani skrining glukosa sesegera mungkin. Uji beban glukosa oral dengan 50 gram glukosa (50-g oral glucose-challenge test) biasanya dianjurkan untuk tujuan ini, diikuti dengan TTGO jika konsentrasi glukosa serum pada saat skrining cukup tinggi (O'Sullivan et al, 1973). Namun, jika kecurigaan hiperglikemia (overt hyperglycemia) yang jelas sangat tinggi (contohnya jika terdapat poliuria dan polidipsi), pengukuran glukosa serum puasa cukup untuk mengkonfirmasi diagnosis diabetes (Lihat tabel 6). Wanita yang ditemukan berada pada risiko rata-rata atau rendah pada penilaian klinis awal harus dinilai kembali antara masa gestasi 24 dan 28 minggu, bersama dengan wanita risiko tinggi yang belum didiagnosis DMG pada saat itu (Metzger et al, 1998).

TABLE 6. DIAGNOSIS OF DIABETES MELITUS GESTATIONAL*

Time of measurement

Gluose concentration


Diabetes mellitus type 1 or 2

Gestational diabetes mellitus †


Miligram oer deciliter

Random†† ∂

> 200

After overnight fast

> 126

95

One hour after test

180

Two hour after test

155

Three hour after test

140

* Diagnoses are based on recommendation of the Fourth International Workshop-Conference on gestational diabetes, with venous serum or plasma glucose concentration measured by method with high precision and appropriate quality control. To convert values glucose to millimoles per liter, multiple by 0,05551

Values shown are for 100 g, three hour oral glucose tolerance test. The serum glucose cutoff for the 75 g two hour oral glucose tolerance test are identical to the fasting, one hour and two hour values from the 100 g, three hour test. Two or more of the values must be met or exceeded for diagnosis of gestational diabetes to be made with the use of neither

†† Values are measured at any time except during the oral glucose challenge test or oral glucose tolerance test

Abnormal values should be present on at least two occasions

Pada minggu 24 sampai 28, wanita dengan risiko rendah tidak memerlukan uji diagnostik lebih jauh (Metzger et al, 1998). Wanita dengan suatu gambaran klinis yang menempatkannya pada suatu risiko (risiko rata-rata atau tinggi pada tabel 4) harus menjalani tes glukosa (Naylor et al, 1997). Pada sebagian besar populasi, prosedur ini akan membatasi jumlah TTGO yang dilakukan. Langkah pertama adalah uji beban glukosa 1 jam dengan 50 gram glukosa (50-g, one-hour glucose-challenge test, tabel 5), dan langkah 2 adalah TTGO yang dilakukan pada wanita yang mempunyai nilai 50-g, one-hour glucose-challenge test menunjukkan risiko tinggi DMG. Frekuensi uji skrining positif dan spesifisitasnya terhadap DMG bervariasi berdasarkan titik potong yang dipilih untuk konsentrasi glukosa serum pada 1 jam setelah makan (Tabel 5) (Metzger et al, 1998).

2.1.1.2 Diagnosis

Penapisan DMG dianjurkan pada semua ibu hamil pada pertemuan pertama dengan petugas kesehatan. Bila hasilnya negative, pemeriksaan diulang pada masa kehamilan 24-28 minggu (PERKENI, 2002).

Diagnosis DMG berdasarkan hasil TTGO, kecuali pada wanita dengan hiperglikemia berat (Tabel 6), yang harus dipertimbangkan sebagai diabetes tipe 1 atau 2 dan ditangani sesuai dengan penyakitnya. Tidak terdapat persetujuan tentang interpretasi TTGO pada wanita hamil (Magee et al, 1993).

Kriteria yang lebih inklusif (Tabel 3) diadopsi oleh the Fourth International Workshop-Conference on Gestational Diabetes Mellitus (Metzger et al, 1998). Penggunaan kriteria tersebut meningkatkan persentase wanita hamil yang diklasifikasikan sebagai DMG dari 4% (menurut the criteria of the National Diabetes Data Group) menjadi 7% pada kelompok yang secara konsisten lebih banyak wanita kulit putih. Besarnya insidensi mungkin berbeda pada ras dan etnik lain (Dooley et al, 1991). The Fourth International Workshop-Conference on Gestational Diabetes Mellitus, the World Health Organization, the European Diabetic Pregnancy Study Group telah mengajukan kriteria yang berbeda untuk menginterpretasikan hasil tes toleransi glukosa 2 jam post prandial pada wanita hamil. Saat ini tidak terdapat data pada hasil klinik perinatal atau maternal untuk mendukung penggunaan kriteria tersebut (Lind et al, 1991).

Menurut Konsensus pengelelolaan diabetes mellitus yang diterbitkan oleh PERKENI tahun 2002, kriteria DM pada wanita hamil sama seperti bukan wanita hamil yaitu gula darah puasa > 126 mg/dL dan atau 2 jam pasca pembebanan > 200 mg/dL. Mereka dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) dianggap sebagai DMG (PERKENI, 2002).

2.1.2 Implikasi Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional sering mengakibat penyulit pada ibu seperti pre-eklamsia, polihidramnion, infeksi saluran kemih berulang pada saat kehamilan, persalinan seksio sesarea dan trauma persalinan akibat bayi besar (PERKENI, 2002).

Morbiditas antepartum pada wanita dengan DMG terbatas hanya terhadap peningkatan frekuensi gangguan hipertensi. Data yang paling meyakinkan adalah adanya hubungan dengan pre-eklampsia dan lebih kontroversial adalah adanya hubungan dengan hipertensi yang diinduksi kehamilan (Joffe et al, 1998). Pemantauan tekanan darah, pencapaian berat badan yang ideal dan ekskresi protein urin dianjurkan, terutama selama masa kehamilan trimester kedua. Kriteria diagnostik standar dan penatalaksanaan gangguan hipertensif dapat diaplikasikan pada wanita dengan DMG (Roberts, 1998).

Risiko klinik antepartum DMG dominan terjadi terhadap fetus. Beberapa studi melaporkan peningkatan frekuensi anomali kongenital mayor, namun peningkatannya tampak terbatas pada bayi yang ibunya menderita hipeglikemia berat (konsentrasi awal glukosa puasa serum di atas 120 mg/dL (6.7 mmol per liter)). Menurut prosedur, diperbolehkan memberikan konseling khusus dan pemeriksaan ultrasound untuk mendeteksi anomali fetus) (Schaefer et al, 1997).

Dahulu, lahir mati (stillbirth) adalah komplikasi terpenting pada kehamilan diabetik, termasuk kehamilan pada wanita DMG yang tidak ditangani. Sebagai hasilnya, maternal monitoring untuk melihat pergerakan fetus dan kardiotokografi sering dianjurkan pada kehamilan yang diperberat oleh DMG untuk mendeteksi fetus pada risiko kematian intrauterin. Beberapa studi klinik besar menunjukkan tidak terdapat mortalitas perinatal yang besar ketika pemeriksaan di atas dilakukan pada wanita DMG dan kehamilan tanpa komplikasi yang ditangani dengan cara diet atau masa kehamilan 32 sampai 34 minggu pada wanita yang ditangani dengan insulin, wanita dengan hipertensi dan wanita yang mempunyai riwayat lahir mati sebelumnya (Kjos et al, 1995).

Makrosomia, hipoglikemia, ikterus, respiratory distress syndrome, polisitemia, dan hipokalsemia dilaporkan frekuensinya bervariasi pada bayi yang dilahirkan dari ibu penderita DMG. Makrosomia dan komplikasi yang berhubugan dengan kehamilan dan persalinan adalah morbiditas yang paling banyak dan paling serius. Makrosomia disebabkan oleh adanya asupan glukosa yang berlebih kepada fetus sebagai konsekuensi hiperglikemia maternal. Terdapat korelasi yang positif antara derajat glikemia maternal dengan berat badan lahir, atau frekuensi makrosomia. Faktor maternal lain yang berperan terhadap makrosomia fetus adalah obesitas dan konsentrasi asam amino serum, dan lipid. Respon fetus terhadap ibu diabetes bervariasi karena adanya bukti yang menunjukkan perbedaan frekuensi makrosomia pada bayi yang dilahirkan dari ibu penderita DMG berdasarkan kelompok ras dan etnik (Jang, 1997).

Dengan demikian, pertumbuhan fetus yang berlebih pada kehamilan yang dipersulit oleh DMG harus dipandang sebagai hasil multifakor gangguan metabolik maternal yang diikuti dengan respon fetus yang bervariasi terhadap gangguan tersebut. Hasil akhirnya adalah frekuensi makrosomia yang lebih besar pada bayi yang dilahirkan dari wanita bukan penderita diabetes, namun efek tersebut hanya sebagian kecil dari keseluruhan (kira-kira 20-30 persen bayi yang ibunya penderita DMG). Frekuensi makrosomia yang berhubungan dengan DMG tampaknya telah menurun pada banyak kehamilan (Jang, 1997).

2.2 PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS GESTASIONAL

2.2.1 Penatalaksanaan Metabolik Antepartum

Penatalaksanaan antepartum wanita DMG harus difokuskan pada pencegahan komplikasi fetus. Tampaknya semua pendekatan mempunyai landasan program edukasi nutrisi dan penatalaksanaan diet. The American Diabetes Association (ADA) menganjurkan pemberian jumlah kalori dan nutrien (zat gizi) yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kehamilan dan meminimalkan hiperglikemia maternal. Keperluan harian pada wanita dengan berat badan normal pada kehamilan trimester kedua adalah 30-32 kkal/kgbb. Pendekatan diet yang dapat menurunkan konsentrasi glukosa serum maternal meliputi pembatasan asupan (intake) karbohidrat sampai 40 persen dari total kalori, penyediaan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemia yang rendah dan penurunan intake total untuk wanita yang kelebihan berat badan sampai 25 kkal/kgbb. Satu studi penunjukkan bahwa wanita yang mendapatkan kurang dari 40% total kalori dari karbohidrat mempunyai bayi dengan berat lahir yang lebih rendah dan frekuensi persalinan sectio secarea yang lebih sedikit daripada wanita dengan asupan yang besar (ADA, 1999).

Menurut Konsensus pengelelolaan diabetes mellitus yang diterbitkan oleh PERKENI tahun 2002, penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri ginekologi, ahli gizi dan spesialis anak. Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu, kesakitan dan kematian perinatal. Ini hanya dapat dicapai apabila keadaan normoglikemia dapat dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan. Oleh karena itu penting sekali penatalaksanaan medis untuk mencapai sasaran normoglikemia. Sasaran normoglikemia DMG adalah kadar glukosa darah puasa < style="letter-spacing: 0.3pt;">(PERKENI, 2002).

Sekali terapi nutrisi dimulai, dua pendekatan umum dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang mempunyai fetus berada dalam risiko tinggi untuk mendapat penatalaksanaan yang lebih intensif lagi, yaitu pengukuran konsentrasi gula darah maternal secara teratur dan penilaian perkembangan fetus. Pendekatan yang paling sering dilakukan pada pengalaman klinis adalah pemantauan konsentrasi gula darah yang intensif yang merupakan indikasi pada fetus-fetus risiko tinggi. Karena tidak terdapat ambang glikemik maternal untuk risiko fetus, ajuran difokuskan pada mempertahankan konsentrasi gula darah pada kisaran nornal untuk semua wanita hamil. Hiperglikemia postprandial lebih dekat berhubungan dengan makrosomia fetus daripada hiperglikemia preprandial pada kehamilan yang perberat oleh diabetes yang sudah ada. Hal itu merupakan alasan untuk pemantauan gula darah pada wanita DMG (Homko et al, 1998).

Sekalipun demikian, The Fourth International Workshop-Conference on Gestational Diabetes Mellitus, menganjurkan mempertahankan konsentrasi gula arah pada kurang dari 95 mg/dL (5.3 mmol per liter) sebelum makan dan kurang dari 140 dan 120 mg/dL (7.8 dan 6.7 mmol per liter) pada saat satu dan dua jam setelah makan. Beberapa klinis menggunakan target glikemia yang lebih ketat lagi, walaupun penatalaksanaan yang terlalu agresif tanpa preseleksi ibu dengan janin besar, dapat meningkatkan angka kelahiran bayi kecil sesuai masa kehamilan (Metzger et al, 1998).

Pemantauan glukosa darah di rumah dengan memory-capable meters tampaknya lebih unggul daripada pemantauan dengan strip baca (read strips) dalam mengidentidikasi konsentrasi gula darah yang tetap meningkat ketika mereka menjalani terapi diet. Penatalaksanaan berdasarkan hiperglikemia maternal sendiri telah dihitung mempunyai biaya yang efektif (Kitzmiller, 1998).

Karena hanya sebagian kecil kasus janin yang dilahirkan dari ibu penderita DMG berada pada risiko morbiditas yang disebabkan hiperglikemia, beberapa peneliti telah mengkombinasikan pemeriksaan glikemia maternal dengan pemeriksaan fetus untuk mengidentifikasi kehamilan yang berada dalam risiko morbiditas perinatal (Gambar 1). Satu pendekatan tersebut menggunakan pemeriksaan konsentrasi fruktosamin serum untuk mengidentifikasi wanita dengan kehamilan risiko renda. Selanjutnya, pengukuran insulin dalam cairan amnion dapat mengidentifikasi janin dengan hiperinsulinisme. Pendekatan lain menggunakan pengukuran glukosa serum puasa yang didapatkan setiap satu sampai dua minggu untuk mengidentifikasi wanita yang mempertahankan konsentrasi glukosa kurang dari 105 mg/dL (5.8 mmol per liter) ketika mendapatkan terapi diet. Pengukuran sirkumferensia abdomen janis pada awal trimester ketiga digunakan untuk mengidentifikasi sebagian kecil fetus yang berada pada risiko makrosomia pada masa aterm. Besarnya kasus makrosomia dan komplikasi perinatal menurun dengan dilakukannya pendekatan ini (Hofmann et al, 1990).

Wanita yang pada dirinya terdapat tanda morbiditas janin (menurut pendekatan yang berdasarkan pada karakteristik fetus) atau yang pada dirinya terdapat konsentrasi gula dara melebihi sasaran) dapat ditangani dengan lebih intensif, biasanya menggunakan insulin. Terapi insulin menurunkan frekuensi makrosomia fetus dan morbiditas perinatal. Pada pertimbangan ini, terapi insulin untuk mencapai konsentrasi glukosa darah post prandial kurang dari 140 mg/dL memberikan kadar gula darah rata-rata yang lebih rendah dan keadaan klinis perinatal yang lebih baik dari pada terapi untuk mempertahankan konsentrasi gula darah preprandial kurang dari 105 mg/dL (de Veciana, 1995). Lebih jauh dari itu, kasus makrosomia telah menurun dengan pemberian insulin dengan cara mengurangi konsentrasi gula darah preprandial kira-kira sebesar 80 mg/dL (.4 mmol per liter) pada wanita yang janinnya telah teridentifikasi berada pada risiko makrosomia dengan pemeriksaan USG janin. Dengan demikian, waktu pengukuran glukosa darah, sasaran glukosa darah yang hendak dicapai dan karakteristik pertumbuhan janin semuanya harus dipertimbangkan dalam merencakanan terapi insulin (Buchanan, 1994). Pilihan lain untuk mengintensifkan penatalaksanaan meliputi modifikasi diet yang telah disebutkan di atas dan latihan aerobik (Bung, 1991) .

2.2.2 Rute dan Waktu Kelahiran

Diabetes mellitus gestasional bukan merupakan indikasi persalinan sectio secarea. Sekalipun demikian, besarnya persalinan sectio secarea di antara wanita penderita DMG lebih besar dua kali lipat daripada wanita bukan penderita DMG. Peningkatan tersebut mungkin disebabkan oleh peningkatan jumlah janin dengan makrosomia. Namun, pengetahuan bahwa ibunya menderita DMG atau telah ditangani dengan insulin, dapat meningkatkan kesempatan sectio secarea. Untuk mengurangi morbiditas iatrogenik tersebut, rute persalinan pada wanita yang ditangani secara baik seharusnya berdasarkan pertimbangan yang sama antara ibu dan janin yang dapat diterapkan pada wanita hamil bukan penderita diabetes (Drury, 1983).

Waktu persalinan, pada ketiadaan masalah pada ibu dan janin, seharusnya berdasarkan pola pertumbuhan janin dan risiko yang berhubungan dengan induksi persalinan dan kelahiran prematur. Pada salah satu studi, induksi persalinan rutin pada masa gestasi 38 minggu lengkap menyebabkan kelahiran yang lebih awal dan proporsi bayi yang lebih kecil lebih masa kehamilan daripada menunggu persalinan secara spontan menjelas masa gestasi 41 minggu lengkap. Di antara wanita yang persalinannya diinduksi, tidak ada satu pun jumlah sectio secarea (25 persen vs 31 persen di antara wanita yang persalinannya tidak diinduksi), maupun frekuensi distosia bahu yang jumlahnya besar (Kjos, 1993).

Surfactant-deficient respiratory distress syndrome jarang pada bayi cukup umur yang dilahirkan dari ibu DMG. Uji maturasi paru janin tidak dianjurkan setelah masa kehamilan 38 minggu pada kasus di mana terdapat perhitungan masa kehamilan yang dapat dipercaya dan kontrol gula darah maternal yang baik (Kjos, 1990).

2.2.3 Pasca Kelahiran

Terdapat bukti epidemiologi bahwa seorang janin yang terpajan DMG intra uterin memiliki risiko yang tinggi terkena obesitas dan tolerasi glukosa terganggu pada saat anak-anak dan dewasa. Hubungan yang dilaporkan tidak hanya pada wanita penderita diabetes tipe 1 atau 2 namun juga pada wanita penderita DMG. Tidak terdapat intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Anjuran untuk perawatan anak-anak meliputi evaluasi teratur tinggi badan, berat badan, konsentrasi glukosa darah, pemberian diet yang tepat dan aktivitas fisik yang benar untuk mengurangi kecenderungan munculnya obesitas (Pettitt, 1985).

Wanita penderita DMG mempunyai risiko diabetes melitus non gestasional (DMNG) sebesar 17-63% dalam waktu 5-16 tahun setelah kehamilan. Risiko diabetes terutama tinggi pada wanita yang menderita hiperglikemia yang nyata selama atau segera seteralah kehamilan, wanita yang gemuk dan wanita yang menderita DMG yang didiagnosis sebelum masa kehamilan 24 minggu (Damm et al, 1992).

Pemeriksaan fisiologik pada wanita penderita DMG menunjukkan kapasitas yang terbatas pada sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin dalam mengkompensasi resistensi insulin. Sekresi insulin yang buruk selama kehamilan bernilai prediktif selama persalinan. Defek sel beta dapat disebabkan otoimunitas terhadap pankreas pada sejumlah kecil kasus, kebanyakan penyebabnya masih tidak diketahui (Freinkel, 1985).

Pertambahan berat badan dan jumlah kehamilan dalam meningkatkan risiko diabetes setelah DMG, mengisyaratkan bahwa resistensi insulin dapat mempercepat penurunan fungsi sel beta yang cenderung menyebabkan diabetes. Penanganan wanita yang mempunyai riwayat DMG harus meliputi usaha untuk mengurangi resistensi insulin (olahraga, mempertahankan berat badan normal dan menghindari obat-obat yang menginduksi resistensi insulin). Konsentrasi glukosa darah harus dinilai kembali setelah persalinan dan sedikitnya setiap tiga tahun setelah persalinan sesuai anjuran American Diabetes Association untuk mendeteksi diabetes pada subjek yang berisiko tinggi. Pemeriksaan harus dilakukan lebih sering pada wanita yang mempunyai gangguan gula darah puasa atau konsentrasi gula darah setelah pembebanan (Peters, 1996).

Akhirnya, wanita dengan riwayat DMG harus menggunakan kontrasepsi yang efektif untuk mengurangi kemungkinan kehamilan yang disertai hiperglikemia yang tidak ditangani dengan baik, yang akan meningkatkan risiko defek lahir pada janin mereka. Penatalaksanaan jangka panjang dengan kontrasepsi oral kombinasi dosis rendah tampaknya tidak meningkatan risiko diabetes setelah DMG. Intra uterin device (IUD) merupakan kontrasepsi yang paling efektif yang secara metabolik bersifat netral. Sebaliknya penggunaan kontrasepsi yang mengandung progestin selama masa menyusui dapat meningkatkan risiko diabetes (Kjos et al, 1998).


DAFTAR PUSTAKA

  1. American Diabetes Association (1999). Gestational diabetes mellitus. Diabetes Care;22:Suppl 1:S74-S76
  2. Buchanan TA, Kjos SL, Montoro MN (1994). Use of fetal ultrasound to select metabolic therapy for pregnancies complicated by mild gestational diabetes. Diabetes Care;17:275-283
  3. Buchanan TA dan Xiang AH (2005). Gestational diabetes mellitus. J. Clin. Invest. 115:485-491
  4. Bung P, Artal R, Khodiguian N, Kjos S (1991). Exercise in gestational diabetes: an optional therapeutic approach? Diabetes;40:Suppl 2:182-185
  5. Damm P, Kuhl C, Bertelsen A, Molsted-Pedersen L (1992). Predictive factors for the development of diabetes in women with previous gestational diabetes mellitus. Am J Obstet Gynecol;167:607-616
  6. de Veciana M, Major CA, Morgan MA (1995). Postprandial versus preprandial blood glucose monitoring in women with gestational diabetes mellitus requiring insulin therapy. N Engl J Med;333:1237-1241.
  7. Dooley SL, Metzger BE, Cho NH (1991). Gestational diabetes mellitus: influence of race on disease prevalence and perinatal outcome in a U.S. population. Diabetes;40:Suppl 2:25-29
  8. Drury MI, Stronge JM, Foley ME, MacDonald DW (1983). Pregnancy in the diabetic patient: timing and mode of delivery. Obstet Gynecol;62:279-282
  9. Freinkel N, Metzger BE, Phelps RL (1985). Gestational diabetes mellitus: heterogeneity of maternal age, weight, insulin secretion, HLA antigens, and islet cell antibodies and the impact of maternal metabolism on pancreatic B-cell and somatic development in the offspring. Diabetes;34:Suppl 2:1-7.
  10. Hofmann HMH, Weiss PAM, Purstner P (1990). Serum fructosamine and amniotic fluid insulin levels in patients with gestational diabetes and healthy control subjects. Am J Obstet Gynecol;162:1174-1177
  11. Homko CJ, Sivan E, Reece EA (1998). Is self-monitoring of blood glucose necessary in the management of gestational diabetes mellitus? Diabetes Care;21:Suppl 2:B118-B122
  12. Jang HC, Cho NH, Min Y-K, Han IK, Jung KB, Metzger BE (1997). Increased macrosomia and perinatal morbidity independent of maternal obesity and advanced age in Korean women with GDM. Diabetes Care;20:1582-1588
  13. Joffe GM, Esterlitz JR, Levine RJ (1998). The relationship between abnormal glucose tolerance and hypertensive disorders of pregnancy in healthy nulliparous women. Am J Obstet Gynecol;174:1032-1037
  14. Kitzmiller JL, Elixhauser A, Carr S (1998). Assessment of costs and benefits of management of gestational diabetes mellitus. Diabetes Care;21:Suppl 2:B123-B130
  15. Kjos SL, Walther FJ, Montoro M, Paul RH, Diaz F, Stabler M (1990). Prevalence and etiology of respiratory distress in infants of diabetic mothers: predictive value of fetal lung maturation tests. Am J Obstet Gynecol;163:898-903
  16. Kjos SL, Henry OA, Montoro M, Buchanan TA, Mestman JH (1993). Insulin-requiring diabetes in pregnancy: a randomized trial of active induction of labor and expectant management. Am J Obstet Gynecol;169:611-615.
  17. Kjos SL, Leung A, Henry OA, Victor MR, Paul RH, Medearis AL (1995). Antepartum surveillance in diabetic pregnancies: predictors of fetal distress in labor. Am J Obstet Gynecol;173:1532-1539
  18. Kjos SL, Peters RK, Xiang A, Thomas D, Schaefer U, Buchanan TA (1998). Oral contraception and the risk of type 2 diabetes in Latina women with prior gestational diabetes mellitus. JAMA;280:533-538
  19. Lind T, Phillips PR (1991) Diabetic Pregnancy Study Group of the European Association for the Study of Diabetes. Influence of pregnancy on the 75-g OGTT: a prospective multicenter study. Diabetes;40:Suppl 2:8-13
  20. Magee MS, Walden CE, Benedetti TJ, Knopp RH (1993). Influence of diagnostic criteria on the incidence of gestational diabetes and perinatal morbidity. JAMA;269:609-615.

0 comments: