KETENAGAKERJAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Ketenagakerjaan adalah segala
hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.
2.
Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
3.
Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
4.
Pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5.
Pengusaha
adalah :
a.
orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri;
b.
orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
6.
Perusahaan
adalah :
a.
setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b.
usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7.
Perencanaan
tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis
yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8.
Informasi
ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk
angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan
makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9.
Pelatihan
kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos
kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10.
Kompetensi
kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11.
Pemagangan
adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu
antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah
bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam
rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12.
Pelayanan
penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan
pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13.
Tenaga
kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia.
14.
Perjanjian
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
15.
Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16.
Hubungan
industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17.
Serikat
pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18.
Lembaga
kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.
19.
Lembaga
kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20. Peraturan perusahaan adalah
peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat syarat
kerja dan tata tertib perusahaan.
21.
Perjanjian
kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat
syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22. Perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23. Mogok kerja adalah tindakan
pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau
oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat
pekerjaan.
24. Penutupan perusahaan (lock
out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau
sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25. Pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
26. Anak adalah setiap orang yang
berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27. Siang hari adalah waktu antara
pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28. 1 (satu) hari adalah waktu
selama 24 (dua puluh empat) jam.
29. Seminggu adalah waktu selama 7
(tujuh) hari.
30. Upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31.
Kesejahteraan
pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang
secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan ketenagakerjaan
adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang
undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah menteri yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan
berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan
atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral
pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan
bertujuan :
a.
memberdayakan
dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b.
mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.
memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d.
meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
1.
Dalam
rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan
menyusun peren- canaan tenaga kerja.
2.
Perencanaan
tenaga kerja meliputi :
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
a. perencanaan tenaga kerja makro; dan
b. perencanaan tenaga kerja mikro.
3.
Dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
1.
Perencanaan
tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain
meliputi :
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
a. penduduk dan tenaga kerja;
b. kesempatan kerja;
c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d. produktivitas tenaga kerja;
e. hubungan industrial;
f. kondisi lingkungan kerja;
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. jaminan sosial tenaga kerja.
2.
Informasi
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak
yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
3.
Ketentuan
mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta
pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan kerja
diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan
kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal 10
1.
Pelatihan
kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha,
baik di da-lam maupun di luar hubungan kerja.
2.
Pelatihan
kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kompetensi kerja.
3.
Pelatihan
kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
4.
Ketentuan
mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak
untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
1.
Pengusaha
bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya
melalui pelatihan kerja.
2.
Peningkatan
dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan
bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
3.
Setiap
pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bi-dang tugasnya.
Pasal 13
1.
Pelatihan
kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta.
2.
Pelatihan
kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
3.
Lembaga
pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
1.
Lembaga
pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.
2.
Lembaga
pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh
izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
3.
Lembaga
pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
4.
Ketentuan
mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara pelatihan kerja
wajib memenuhi persyaratan :
a.
tersedianya
tenaga kepelatihan;
b.
adanya
kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c.
tersedianya
sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d.
tersedianya
dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
1.
Lembaga
pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja
pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
2.
Lembaga
akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas
unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
3.
Organisasi
dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Kepu tusan Menteri.
Pasal 17
1.
Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat
menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila
dalam pelaksanaannya ternyata :
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
2.
Penghentian
sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6
(enam) bulan.
3.
Penghentian
sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap
program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dan Pasal 15.
4.
Bagi
penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan
melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
5.
Penyelenggara
pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan
kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan
sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan.
6.
Ketentuan
mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan
pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
1.
Tenaga
kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan
kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan
kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
2.
Pengakuan
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi kompe tensi kerja.
3.
Sertifikasi
kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga
kerja yang telah berpengalaman.
4.
Untuk
melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi
profesi yang inde penden.
5.
Pembentukan
badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga
kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat
kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.
Pasal 20
1.
Untuk
mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan,
dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan
pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
2.
Ketentuan
mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan kerja dapat
diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
1.
Pemagangan
dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha
yang di buat secara tertulis.
2.
Perjanjian
pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya memuat
ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
3.
Pemagangan
yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja yang telah
mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja
dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksanakan
di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau
perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.
Pasal 25
1.
Pemagangan
yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
2.
Untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan
harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3.
Ketentuan
mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
1.
Penyelenggaraan
pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
a. harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
2.
Menteri
atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar
wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 27
1.
Menteri
dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
program pemagangan.
2.
Dalam
menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
1.
Untuk
memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan
koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi
pelatihan kerja nasional.
2.
Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
1.
Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan
pemagangan.
2.
Pembinaan
pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi,
kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas.
3.
Peningkatan
produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
1.
Untuk
meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional.
2.
Lembaga
produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
3.
Pembentukan,
keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai
hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan
dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
1.
Penempatan
tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta
adil, dan setara tanpa diskriminasi.
2.
Penempatan
tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat
sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan
memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
3.
Penempatan
tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan
penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.
Pasal 33
Penempatan tenaga kerja
terdiri dari :
a.
penempatan
tenaga kerja di dalam negeri; dan
b.
penempatan
tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan
tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur
dengan undang-undang.
Pasal 35
1.
Pemberi
kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang
dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
2.
Pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan
perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
3.
Pemberi
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja
wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan
kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
1.
Penempatan
tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
2.
Pelayanan
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu
dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
a. pencari kerja;
b. lowongan pekerjaan;
c. informasi pasar kerja;
d. mekanisme antar kerja; dan
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja.
3.
Unsur-unsur
sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga
kerja.
Pasal 37
1.
Pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri
dari :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan
b. lembaga swasta berbadan hukum.
2.
Lembaga
penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
3.
Pelaksana
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a,
dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung,
sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
4.
Lembaga
penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
5.
Golongan
dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
1.
Pemerintah
bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja.
2.
Pemerintah
dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
3.
Semua
kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk
mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja.
4.
Lembaga
keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu
dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
1.
Perluasan
kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan
yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
2.
Penciptaan
perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya,
penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau
pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
1.
Pemerintah
menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.
2.
Pemerintah
dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
3.
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan
koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
4.
Ketentuan
mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
1.
Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2.
Pemberi
kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
3.
Kewajiban
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai
diplomatik dan konsuler.
4.
Tenaga
kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.
5.
Ketentuan
mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
6.
Tenaga
kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan
tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
1.
Pemberi
kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan
tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2.
Rencana
penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
me muat keterangan :
a.
alasan
penggunaan tenaga kerja asing;
b.
jabatan
dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang
bersangkutan;
c.
jangka
waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d.
penunjukan
tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan.
3.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah,
badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
4.
Ketentuan
mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur
dengan Keputu san Menteri.
Pasal 44
1.
Pemberi
kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi yang berlaku.
2.
Ketentuan
mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
1.
Pemberi
kerja tenaga kerja asing wajib :
a.
menunjuk
tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga
kerja asing; dan
b.
melaksanakan
pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud
pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga
kerja asing.
2.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang
menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
1.
Tenaga
kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan ter tentu.
2.
Jabatan-jabatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri
Pasal 47
1.
Pemberi
kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
2.
Kewajiban
membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan.
3.
Ketentuan
mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
4.
Ketentuan
mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara
asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan mengenai penggunaan
tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja
pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan kerja terjadi karena
adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 51
1.
Perjanjian
kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
2.
Perjanjian
kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52
1.
Perjanjian
kerja dibuat atas dasar :
a.
kesepakatan
kedua belah pihak;
b.
kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.
pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
2.
Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
3.
Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan
menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
1.
Perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
2.
Ketentuan
dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak
boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
3.
Perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2
(dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan
pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian kerja tidak dapat
ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
Pasal 56
1.
Perjanjian
kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
2.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
1.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin.
2.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu.
3.
Dalam
hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
1.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja.
2.
Dalam
hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi
hukum.
Pasal 59
1.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a.
pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
d.
pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
2.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
3.
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
4.
Perjanjian
kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
0 comments:
Posting Komentar